Saat malam midoderani tiba, sengaja saya datang siangnya. Kami berbincang panjang lebar. Dalam perbincangan itu dia meminta restu saya untuk pernikahannya serta kondisinya yang saat itu telah menjadi mualaf.
Biar pun di dalam hati masih ada yang gimana gitu..., saya berusaha tersenyum saja.
"Tahu nggak, Njar.... Pas malam sebelum aku menyatakan syahadat itu, aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhamad. Orangnya ternyata tinggi besar dan bersinar. Dia tersenyum dan mengulurkan tangan. Aku jadi merasa damai dan bahagia gitu ya...."
Spontan saya tertawa.
Bukan mengejeknya, tetapi melihat gayanya bercerita serta wajahnya yang mendadak ceria memancarkan kebahagiaan lebih dari hatinya.
Dari situ pelan-pelan saya benar-benar mengiklaskan niatnya tersebut menjadi mualaf. Apalagi keluarganya mendukung penuh.
"Yang penting dia bahagia dan ada yang membimbing menjadi lebih baik, Njar...," ujar mamanya saat itu.
Perkawinannya diselenggarakan dengan sukses dan lancar. Ia dan keluarganya kini berbahagia dengan kehidupannya. Persahabatan kami juga tak kalah dekat dari masa bimbel itu.
Beberapa waktu lalu ia ke tanah suci, Mekkah.
Saya sempat titip pesan ke dia, "Hati-hati ya.... Boleh titip doaku di doamu?"
Jawabnya, "Pasti, Njar.... Ada namamu di doaku..."