"Aaaahhhh.... Uuuuuhhh....Aduh!! Oooww..." sudah berulangkali bapak mengeluarkan kalimat-kalimat itu. Di kamar itu. Berdua. Padahal kamar terang. Tapi, korden tertutup rapat. Tak ada celah mengintip sedikit pun. "Nah, itu... Itu enak.... Aaaahhh..."
"Nggih, Pak... Ini bagian paling enak. Bapak siap ya...," ada suara perempuan dari dalam. "Aaaaaaahhhh...," suara bapak makin melengking terdengar. Kami bertiga kian cemas. Herannya ibu tidak ada reaksi. Wajahnya datar, cenderung pasrah. Sesekali ia bahkan memalingkan muka, seolah tak peduli. Tarikan nafas berulang, hendak menandakan sesuatu yang mungkin sedang sangat bergejolak di hatinya. Tapi, kami juga nggak bisa apa-apa. Sebagai anak-anaknya, kami mau mencoba menurut apa kehendak orang tua terutama ibu. Meskipun itu berarti....
"Matur nuwun, Pak... Cepat sembuh, nggih..." Perempuan separuh baya dengan kebaya sederhana itu keluar dari kamar bapak. Ia menunduk hormat pada kami lalu ibu menyambutnya dan senyum lalu mempersilahkan ia duduk dulu. Dia Bu Tirah, tukang pijat yang membantu keseleo bapak yang tak kunjung sembuh dari sejak kemarin. (anj 19)