Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pandangan Gereja terhadap "Hukuman Mati"

27 Oktober 2021   16:53 Diperbarui: 27 Oktober 2021   17:01 3693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman Mati (mediaindonesia.com)

         Disini akan diuraikan pandangan Gereja tentang hukuman mati. Pandangan ini meliputi ajaran Kitab Suci, sketsa pendapat para teolog, dan ajaran Gereja melalui Katekismus Gereja Katolik.

1. Ajaran Kitab Suci tentang Hukuman Mati

        Dalam Perjanjian Lama, hukum Musa merinci tak kurang daripada 36 pelanggaran pokok yang menuntut hukuman mati (perajaman, pembakaran, pemenggalan kepala, atau pencekikan). Beberapa pelanggaran yang termasuk dalam daftar itu ialah penyembahan berhala, sihir, penghojatan, pelanggaran Sabat, pembunuhan, zinah, bestialitas (hubungan seks dengan binatang), pederasti (hubungan seks dengan anak-anak) dan inses. Hukuman mati dianggap setimpal sebagai hukuman untuk pembunuhan, seperti dinyatakan dalama perjanjian Allah dengan Nuh, "Barangsiapa menumpahkan darah manusia, darahnya akan ditumpahkan oleh manusia, karena Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri" (Kej 9:6). Selain itu, dalam banyak kasus, Allah digambarkan dengan sewajarnya menghukum para penjahat dengan kematian, seperti terjadi pada Korah, Dathan, dan Abiram (Bil 16). Dalam kasus lain, orang-orang seperti Daniel dan Mordekai adalah wakil-wakil Allah dalam mengenakan kematian yang adil kepada orang-orang bersalah.

         Selanjutnya, dalam dunia Perjanjian Baru telah umum diterima hak negara untuk menjatuhkan hukuman mati kepada penjahat. Sedangkan Yesus sendiri tak mempergunakan kekerasan. Ia menegur para murid-Nya yang ingin mendatangkan api dari langit untuk menghukum orang-orang Samaria yang kurang ramah perilakunya (Lk 9:55). Pada suatu kesempatan, Ia menegur Petrus agar menyarungkan pedangnya daripada menolak untuk ditangkap (Mt 26:52). Meski demikian Yesus tidak pernah mengingkari otoritas negara untuk melakukan hukuman mati. Dalam perdebatan-Nya dengan kaum Farisi, Yesus mengutip dengan persetujuan perintah yang nampaknya keras, "Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati" (Mt 15:4; Mk 7:10, mengacu pada Kel 21:17; bdk. Im 20:9). Ketika Pilatus menunjukkan otoritasnya untuk menyalibkan Dia, Yesus mengatakan bahwa kekuasaan Pilatus berasal dari atas -- artinya, dari Allah (Yoh 19:11). Yesus berdoa bagi penjahat baik pada salib di sebelahnya, yang mengakui bahwa ia dan temannya menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya (Lk 23:41).

        Demikian pula pada jemaat perdana. Orang-orang kristiani pertama jelas tak berkeberatan terhadap hukuman mati. Tiada kalimat dalam Perjanjian Baru menolak hukuman mati. Mereka menyetujui hukuman ilahi terhadap Ananias dan Safira ketika mereka ini ditegur Petrus atas penipuannya (Kis 5:1-11). Surat kepada umat Ibrani menjadi argumen tentang hal bahwa "orang yang melanggar hukum Musa meninggal tanpa ampun atas kesaksian dua atau tiga orang saksi" (10:28). Berulang kali Paulus menyebut hubungan antara dosa dan kematian. Ia menulis kepada umat di Roma, rupanya dengan mengacu pada hukuman mati, bahwa pejabat yang memegang otoritas "Tidak percuma membawa pedang; karena pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat" (Rm 13:4).

2. Etika Teologis Hukuman Mati

        Jika kita memerhatikan tradisi kristiani, kita dapat mencatat bahwa para Bapa dan Pengajar Gereja praktis sepakat mendukung hukuman mati, meskipun beberapa dari mereka, seperti St.Ambrosius, mengajak klerus untuk tidak menjatuhkan hukuman mati atau berperan sebagai pelaksana hukuman. Untuk menjawab keberatan bahwa perintah pertama melarang pembunuhan, St.Agustinus menulis dalam De Civitate Dei.

        Pada Abad Pertengahan sejumlah kanonis mengajarkan bahwa pengadilan gerejawi jangan menjatuhkan hukuman mati dan bahwa pengadilan sipil boleh menjatuhkannya hanya untuk kejahatan besar. Namun para kanonis dan teolog yang berpengaruh meneguhkan hak pengadilan sipil untuk menjatuhkan hukuman mati untuk pelanggaran yang amat besar seperti pembunuhan dan pengkhianatan. Thomas Aquinas mengacu pada otoritas Kitab Suci dan tradisi patristik, dan memberikan argumen berdasarkan akalbudi.

        Pada puncak Abad Pertengahan dan zaman modern Takhta Suci memberi otoritas kepada Inkuisisi untuk menyerahkan orang bidaah kepada kuasa dunia untuk eksekusi. Di negara-negara kepausan hukuman mati dijatuhkan karena pelbagai pelanggaran. Di zaman modern para Pengajar Gereja seperti Robertus Belarminus dan Alfonsus Liguori berpendapat bahwa kejahatan tertentu harus dihukum dengan kematian. John Henry Newman, dalam sepucuk surat kepada seorang teman, berpendapat bahwa pejabat berhak membawa pedang, dan bahwa Gereja harus mengesahkan penggunaannya, dalam arti seperti Musa, Yosua dan Samuel menggunakannya melawan kejahatan yang keji.

        Selama paruh pertama abad keduapuluh kesepakatan para teolog katolik yang mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus ekstrem masih kuat, seperti dapat dilihat dari buku-buku manual dan artikel-artikel ensiklopedi zaman itu. Negara kota Vatikan dari tahun 1929 sampai 1969 mempunyai KUHP yang memuat hukuman mati bagi siapa pun yang mungkin berusaha membunuh Paus. Paus Pius XII, dalam amanat penting kepada pakar medis, menyatakan bahwa dikhususkan bagi kuasa publik untuk mengambil kehidupan dari orang terpidana sebagai pepulih kejahatannya.

       Dengan meringkas putusan Kitab Suci dan tradisi kita dapat melihat beberapa pokok ajaran yang tetap. Ada persetujuan bahwa kejahatan pantas dihukum dalam hidup ini dan tak hanya di akhirat. Selain itu, disetujui bahwa negara mempunyai otoritas untuk memberikan hukuman setimpal kepada mereka yang dinilai bersalah atas kejahatan dan bahwa hukuman ini dapat, dalam kasus-kasus serius, berarti putusan hukuman mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun