Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Wajah 'Masem' Dokter Muda di Kosan Kota Bambu Selatan

21 Februari 2017   13:06 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:24 2761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Suasana gang Awitali-9 di Jalan Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, yang akhir-akhir ini tampak semakin banyak bermunculan tempat kost-kostan keluarga pasien yang datang dari berbagai daerah di Indonesia yang berobat Jantung dan Kanker. / Photo By: Rendra Tris Surya)

Panas terik yang membakar jalan ramai itu, seperti diacuhkan banyak orang yang lalu lalang. “Kota Bambu Selatan”, nama jalan di Kelurahan Kota Bambu, Kecamatan Slipi, Jakarta Barat itu, tampak bagai miniatur masyarakat IndonesiaJalan pendek yang hanya sekitar 400 meter itu, menjadi terkenal di kalangan pasien yang datang dari berbagai daerah. Karena jalan ini membelah dua rumah sakit besar di Jakarta, yaitu Rumah Sakit Jantung “Harapan Kita” (sebagai Pusat Jantung Nasional) dan Rumah Sakit Kanker Nasional “Darmais”. 

Gang-gang kecil di sisi jalan ini selalu dipenuhi oleh pasien dan keluarganya. Operasi penyakit jantung dan kanker, memang biasanya membutuhkan waktu pengobatan yang agak panjang. Paling tidak, membutuhkan waktu satu bulan untuk sekedar pulih. Ini sebabnya, rumah-rumah kumuh penduduk di berbagai gang kecil tersebut dalam beberapa tahun belakang, berubah fungsi, menjadi rumah “Kost-kostan Keluarga Pasien”. Bahkan menjadi enclave bagi para pasien dan keluarganya yang merasa tidak nyaman tinggal terlalu lama di hotel, yang sebenarnya cukup banyak di sekitar rumah sakit ini.

Jika biasanya, tempat kost didominasi oleh mahasiswa yang sedang kuliah, atau karyawan perusahaan. Di sini, justru oleh pasien-pasien yang tampak berambut gundul (karena banyak chemothery yang bagi penderita Kanker). Atau, pasien yang dada dan kakinya berbekas sayatan panjang (karena baru seminggu selesai operasi jantung).

Saya dan istri tinggal selama lebih dari satu bulan di salah satu rumah kosan di sini, yaitu di Gang Tali-9. “Ini rumah kostan baru dibangun, yang saya rancang khusus buat kost-kostan. Tidak seperti rumah kostan lain, yang dulunya rumah keluarga yang diubah menjadi kostan,” kata seorang bapak tua yang saya ajak ngobrol, saat duduk-duduk sore di beranda rumah kost-an ini. Ternyata, dia adalah mertua sang pemilik rumah kostan, yang kebetulan juga seorang arsitek.

(Penulis, ketika sedang didorong di kursi roda oleh Bobbie TA / my son, di hari pertama keluar dari Rumah Sakit. Dan pagi-pagi bersiap-siap mengikuti Rehabilitasi Fisioterapi, menyusuri jalan Kota Bambu Selatan yang ramai dengan jualan aneka masakan khas tersebut. / Photo by: Dhinda AA Rendra)
(Penulis, ketika sedang didorong di kursi roda oleh Bobbie TA / my son, di hari pertama keluar dari Rumah Sakit. Dan pagi-pagi bersiap-siap mengikuti Rehabilitasi Fisioterapi, menyusuri jalan Kota Bambu Selatan yang ramai dengan jualan aneka masakan khas tersebut. / Photo by: Dhinda AA Rendra)
Oh..pantes, rumah kost-an yang berkamar 17 buah ini, selalu tampak laris dan penuh. Terlihat lebih asri dengan ventilasi dan desain yang lebih baik. Selain keluarga pasien, banyak juga dokter-dokter muda yang sedang mengambil spesialisasi tertentu di Rumah Sakit “Harapan Kita”, yang berasal dari berbagai kota besar Indonesia, juga memilih kamar kost di sini. Harga sewa kamar kosan disini berkisar antara Rp 2 juta sampai Rp 3,5 per-bulan. Saya tinggal di lantai 2 di kamar no 24, yang di depannya disediakan kursi tamu sederahana, tempat kami hampir setiap hari duduk-duduk atau makan.

Dan sebagaimana layaknya orang yang tinggal serumah, meskipun kami berasal dari berbagai kota yang hanya memiliki otorisasi penuh seluas satu kamar saja. Maka  bertegur sapa dengan penghuni lain (termasuk jika hanya berbasa-basi, sekalipun) merupakan hal yang lazim. Namun, entah mengapa, sebagian penghuni lantai dua yang terdiri dari 6 kamar itu, selalu memasang wajahmasem” setiap kali berpapasan. Yang akhirnya menjadi pertanyaan besar di antara penghuni-penghuni lain. 

Sebaliknya, ada chemistry yang demikian baik yang terjadi, membuat saya betah nyambung ngobrol, dengan mereka yang kost di lantai-1. Bahkan, ngobrol di malam hari kala mengusir waktu panjang itu jadi terasa menyenangkan. Saya mengenal seorang anak muda yang energik dan cerdas, misalnya, yang  bernama Rendy Reva Kondon. Orang Toraja (Sulsel) kelahiran Papua yang ramah dan enak diajak ngobrol tentang apa saja ini suka bercanda. “Saya insinyur bidang Pertambangan yang terpaksa berhenti bekerja, karena harus merawat Mama yang terkena Kanker di sini,” katanya saat memperkenalkan diri di hari pertama. Dia sudah 3 bulan di kost-an ini.

Di sana ada juga seorang wanita muda bernama Sulfa Hatala, Ibu Guru SD dari Kabupaten Fak-Fak, Papua, yang kocak saat ngobrol santai dengan aksen Papua-nya yang khas. Mereka membuat waktu-waktu istirahat  menjadi penuh canda, humor dan bahkan terkesan kekeluargaan. Ada juga seorang pasien jantung yang juga seorang dosen, bergelar Doktor dari Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, yang sekali-kali ikut nimbrung melucu juga.

(Suasana rumah kost-an penulis, di lantai-1 yang penghuninya penuh keakraban dan canda saat ngobrol. Termasuk ketika berbagi menu masakan daerah masing-masing. / Photo by: Farida Rendra)
(Suasana rumah kost-an penulis, di lantai-1 yang penghuninya penuh keakraban dan canda saat ngobrol. Termasuk ketika berbagi menu masakan daerah masing-masing. / Photo by: Farida Rendra)
Meskipun kami semua berasal dari daerah yang berbeda dan baru kenal di tempat kosan ini. Tapi tidak tampak ada rasa curiga sedikit pun! Semua terlihat enjoy-enjoy saja saat berpapasan, saat ngobrol dan bahkan sekali-kali masak dan makan bersama. Ya, beginilah seharusnya, orang yang senasib kalau tinggal di satu rumah, bukan?

Akan tetapi, berbeda bak langit dan bumi, dengan para penghuni di lantai-2.  Untung ada satu penghuni latnai-2 yang berbeda. Saya  berkomunikasi dan mengobrol  dengan wanita muda bernama Putri dan Mamanya yang terkena sakit kanker itu. Mereka berasal dari Kota Agung, Lampung Selatan (Tanggamus). Ibu Ida ini terlihat tabah, tangguh dan sabar dengan penyakitnya. Setiap pagi dia berjalan kaki ke Rumah Sakit Kanker “Darmais” menemui dokter dan berobat Chemotherapy, yang dilakoninya  selama berbulan-bulan.

Penguni lantai-2 lain yang dihuni oleh dokter-dokter muda tersebut, tampak  seperti tak berniat bertegur sapasekalipun! Fenomena sosial yang kemudian menjadi aneh dan terlihat  janggal. Saya penasaran,  sekali-kali saya mencoba memulai menyapa mereka. Namun, mereka tampak acuh-tak-acuh saja. Memasang wajah “masem”, alias tidak ramah. Bukan hanya ke saya, tapi rupanya juga ke semua penghuni rumah kost-an yang lain. Entah apa yang ada dalam pikirannya setiap hari, sehingga tersenyum saja menjadi beban luar biasa...!

Sejak hari pertama kami di kost-an ini, sampai 30 hari kemudian, bahkan tidak bertegur sapa dengan dokter muda yang kamarnya bersebelahan. Saya sampai heran bukan kepalang, dengan fenomena janggal seperti ini. Kok ada orang yang begitu “angkuh” dan berprofesi sebagai  dokter lagi? Lalu, terpikir oleh saya: apakah mereka terkena gejala “psikopat”, karena terlihat anti-sosial tersebut ? Tapi, rasanya tidak mungkin!  

Atau, mungkin karena terlalu lama berada di ruang operasi yang hampir setiap hari (sebagai dokter muda), menjadi asisten membedah orang yang sedang tak sadarkan diri? Sehingga merasa tidak perlu beramah-ramah dengan orang "hidup" yang tak dikenal? Uniknya, kalau sesama mereka saling bertemu di salah satu kamar kost misalnya, saat membicarakan materi/tugas kedokteran yang sedang dipelajari, mereka terlihat ramah dan ceria sebagaimana lazimnya....!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun