Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esai dan PUISI Buat Pak Saimi (82 Tahun): Seorang Petani Tangguh dari Lampung

9 April 2017   17:53 Diperbarui: 12 April 2017   15:30 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sesaat penulis berpose dengan Bapak Saimi yang kini berusia 82 tahun itu, sebelum kami pamit kembali ke Bandung / Photo by: Farida Rendra)

Setahun belakang ini, Bapak Saimi (82 tahun) yang tinggal di Desa Muara Dua, Lampung, itu sudah mulai terdengar sakit-sakitan. “Bapak sekarang sudah susah berjalan.  Karena penyakit tua dan komplikasi,” demikian istri saya berulangkali mengingatkan, agar kita  mencari waktu yang tepat agar bisa pulang kampung melihatnya. Bapak Saimi adalah mertua  saya, yang usianya sudah sangat sepuh. Dia  kini tidak lagi seperti dahulu pertamakali saya mengenalnya di tahun 1987, yang gagah dan energik. Ketika hampir di setiap pagi pergi ke kebun, hingga berpanas-panas dengan topinya yang khas, menyiangi rumput dan memupuk tanaman kopi kesayangannya.  

Hari ini Jumat 24 Maret 2017, akhirnya  kami  menyempatkan diri di tengah jadwal kegiatan yang padat tak ada habis-habisnya tersebut, berangkat ke Sumatra.  Jumat malam, saya tiba di rumahnya, setelah selama 3 jam berkendaraan dari Bandara Raden Inten II yang berada di Kota Bandar Lampung, Ibukota Propinsi menuju ke Desa Muara Dua, di Kabupaten Tanggamus di selatan. Rumah mertua ini tampak tetap sederhana seperti puluhan tahun lalu. Beberapa kayu kusen terlihat semakin menua dimakan rayap. Bapak  Mertua kemudian terlihat kaget ketika saya tiba-tiba masuk ke kamarnya dan menyapa, sambil mencium tangannya “Assalamualikum, apa kabar Pak... ,” sapa saya.

Eh,  Rendra, baru tiba..? Kabarnya sakit jantung, apakah sudah sembuh? “ Itulah kalimat yang diucapkan pertama kali melihat saya,  telah hampir 5 tahun tidak pernah bertemu secara langsung seperti ini.  Dia kemudian terlihat antusias, banyak bertanya mengenai operasi besar jantung yang saya alami di RS Harkit, Jakarta, tanggal  20 Desember 2016 yang lalu. “Maaf ya Rendra, Bapak tidak bisa datang ke Rumah Sakit di Jakarta waktu itu,” katanya. “Kondisi Bapak sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjalan jauh…”, ujarnya.

Pendengarannya  tampak semakin  banyak berkurang.  Namun,  dia tetap bersemangat ketika diajak berbincang tentang banyak  hal. “Bapak mash sering mendengar Radio RRI untuk mengikuti perkembangan. Dan inilah satu-satunya hiburan bapak sekarang, “ katanya sambil menunjuk radio tua di atas kasurnya yang terlihat agak tipis. Biasanya radio itu dibunyikannya dengan volume yang keras, agar dapat didengarnya dengan baik. “Makanya, Bapak minta kamar tinggal di kamar ini saja di belakang. Agar yang lain tidak terganggu,” lanjutnya ketika saya bertanya tentang radio antik yang ada di atas kasurnya tersebut .

Uniiknya, dengan pendengarannya yang berkurang tersebut,  dia tetap piawai menangkap gerak bibir lawan bicara. Hal  yang membuat dia tetap bisa diajak ngobrol. “Kuping Bapak yang kanan sudah kurang bisa mendengar,” katanya menjelaskan. Topik obrolan  kami yang disukainya tentang  Agama Islam dan Pertanian. Dua dunia yang memang paling dekat dengan aktivitasnya di kampung ini sejak muda. Di Desa ini, mayoritas penduduk adalah   masyarakat Suku Semendo, yang merantau ke sini sejak puluhan tahun lalu  dari Sumatera Selatan,  membuka sentra-sentra baru perkebunan Kopi, Lada dan Coklat. Kopi Robusta dari daerah Lampung bagian selatan ini merupakan salah satu yang terbaik di Propinsi Lampung. Dan hasilnya sudah sering diekspor ke luar negeri.

 Saat berbincang santai dengan Mertua ini, saya lalu  teringat dengan almarhun Ayah saya (Surya Sutrisno, 81 tahun), yang telah tutup usia pada tahun 2010 lalu. Kulit kedua orangtua yang saya hormati ini,  terlihat sama. Tampak kurus, mulai mengering dan berkeriput. Wajahnya mereka pun mulai terlihat semakin renta dengan rambut putihnya yang dominan. Tanpa sadar, saya lalu  mengelus-ngelus tangan Bapak Saimi ini.  Karena saya menjadi terharu melihatnya!

Jauh di dalam hati, saya selalu berdoa agar dia terus diberi kurnia  dengan umur panjang. Kesederhanaan kepribadiannya membuat saya kemudian teringat dengan sebuah puisi yang berjudul “Di Saat Daku TUA”. Puisi ini secara tepat mengungkapkan dan menggambarkan bagaimana sebenarnya perasaan hati orangtua yang sudah sepuh dan renta dalam memnghadapi interaksinya dengan keluarga.  Setiap kali saya  membaca kembali puisi ini,  saya selalu tersentuh.. Puisi ini kebetulan saja saya temukan, dalam bentuk sebuah brosur berwarna merah bertuliskan aksara Mandarin, yang tergeletak begitu saja di lantai ketika saya  mengunjungi sebuah objek wisata  kuil. Saya tidak tahu, siapa penulis puisi indah yang menarik ini. Mungkin puisi ini terjemahan dari kitab sastra Cina kuno tempo dulu..? Brosur itu, kemudian  saya simpan.

 Pesan di dalam puisi itu benar! 

Bahwa  menjadi TUA merupakan keniscayaan bagi semua orang di belahan mana pun di dunia. Hanya, tinggal menunggu waktunya saja…. Tidak ada orang yang dapat mencegah dirinya agar tidak menjadi TUA, sekaya dan secerdas apapun dia.   Dan memang, perubahan alamiah yang terjadi di dalam diri seorang manusia ketika menjadi TUA tersebut,  seringkali  membingungkan keluarganya,  anak-anak, bahkan cucu-cucu terdekatnya. Kita sebagai seorang anak, seringkali merasa menjadi sulit karena harus menyesuaikan diri dengan sifat “baru”  dari  Ayah, Mertua. Ibu, Nenek dan Kakek kita yang pikun dan renta tersebut.    “Orang tua itu jika sepuh, sifatnya akan seperti anak-anak. Tapi, ya itulah proses alami yang akan dialami oleh setiap manusia, ” kata seorang Psikolog  pada suatu hari.

Yang penting, kita selalu berupaya  belajar berkomunikasi dengan baik dan memahami para sesepuh kita tersebut sebisa-bisanya.  Terkadang sulit juga!  Saat diajak berbicara dengan mereka, maka harus teriak-teriak karena keterbatasan pendengarannya tersebut.  Ketika diajak ngobrol tentang ke kinian, mereka malah seringkali menajadi tambah “khawatir” berlebihan dengan perkembangan jaman saat ini.  Yang mereka senang, justru mengajak membahas kehidupan masa lalunya, yang seringkali justru  malah membosankan kita yang hidup di jaman berbeda seperti sekarang ini. Cerita masa jayanya itu diulang-ulang terus. Mareka juga kemudian menjadi cepat tersinggung, termasuk untuk  hal-hal yang sebenarnya sepele, seperti saat lupa ditelpon oleh anaknya yang tinggal di kota jauh. Oleh anak-anaknya yang  tidak bisa pulang pada saat hari besar seperti Lebaran. Atau,  lupa mengirim oleh-oleh baju koko kesukaannya pada saat ada orang yang satu kota dengan anaknya itu pulang. Tapi itulah pata sepuh itu…..  Tapi para sesepuh ini, bagaimanapun adalah orang-orang tua yang sebenarnya tetap kita cintai dengan cara kita yang berbeda. Karena merekalah kita sekarang ini ada (cargo ergo sum?). Jadi, kita yang muda-muda ini yang seharusnya menyesuaikan diri dan lebih memahami mereka. Bukankah secara  fisik dan brain yang kita miliki masih relatif baik, kuat dan berenergik?  Bukan justru sebaliknya, malah meminta mereka yang sepuh itu  agar menyesuaikan diri dengan kondisi kita saat ini…

Puisi indah di bawah ini, mudah-mudahan dapat mengungkapkan  suasana batin dan hati para orangtua yang sepuh tersebut pada umumnya.  Memang, kita hidup di jaman yang berbeda dengan mereka. Sehingga apa yang kita rasakan dan juga apa yang menjadi fokus perhatian kita bisa berbeda dengan mereka.   Semoga puisi ini bisa menggugah kita, agar bisa lebih memperhatikan dan menyayangi orangtua kita yang sepu, yang semakin hari usianya pun semakin menuju Renta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun