Mohon tunggu...
Imroah
Imroah Mohon Tunggu... Lainnya - Hidup dalam ketenangan

Seneng Ghibahahahaha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salah Bukan untuk Ditutupi, tapi Diakui (2)

23 Mei 2021   07:27 Diperbarui: 23 Mei 2021   09:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Ilustrasi Permenungan / dokpri

Cerita belum berakhir atas pengakuan Adam terhadap cintanya kepada Mariam yang berakhir dengan perpisahan meskipun keduanya telah melakukan hungan terlarang. Kala itu, Adam tetap pada posisi duduk dengan matanya yang tertunduk; mengakui kesalahannya dan tidak bisa melupakan pengalaman pahit yang pernah dialaminya.

Aku dengan rasa penasaran, mencari tahu dalam celah-celah matanya yang tertunduk itu. Mencuri gerak tubuhnya yang seolah menceritakan semua kejujuran dan kehancuran di waktu bersamaan. Sebenarnya ingin menanyakan tentang alasan mereka berpisah setelah bertunangan. Namun sepertinya dia mendengar bisik pikirku yang ingin mengorek sampah-sampah hati yang berceceran.

"Aku tidak berani mengatakan ini kepada siapapun. Namun aku percaya kepadamu, Tin. Harapanku semua yang telah kualami dapat menjadi pelajaran untukmu. Karena kamu adalah salah satu sahabat baik ku, dan bagiku kamu orang yang bijak dalam menilai sebuah permasalahan", ungkapnya.

Meskipun ia menyanjungku, masih terlihat raut wajah antara urung dan takut yang entah datang dari mana. Ia tahu respon yang akan ku berikan tidak akan ekstrim, meledak atau menyalahkan. Mungkin itu yang membuat dia berani menceritakan hal semacam itu kepadaku. Karena kurangnya pergaulan dan keasyikan dengan dunia fantasi bersama tumpukan buku-buku.

"Aku sangat terbuka kepada Mariam, bahkan dengan mantan-mantanku. Semuanya telah habis kuceritakan kepadanya. Ia menaggapi dengan santai semua cerita tentang beberapa mantan yang ingin Kembali lagi padaku. Tidak terpikir apapun kecuali Mariam sangat mencintai dan tergila-gila denganku. Meskipun tidak secerdas dia, namun wajahku sangat menjual untuk menaklukkan hatinya. Itu yang kuyakini.

"Kita berpacaran selama tiga tahun. Selama dua tahun kita berada di lembaga yang sama. Kita tinggal di gedung camp yang sama hanya terjarak balkon untuk tempat mencuci baju dan tembok sebahu sebagai pembatas area laki-laki dan perempuan. Selama dua tahun itu setiap libur kelas, kami sering keluar bersama dengan manaiki sepeda masing-masing dan bertemu di sebuah taman yang jaraknya dua belas kilo meter dari camp kami. Sengaja agar tidak banyak yang mengetahui hubungan kami. Bisa dibilang setiap sebulan sekali aku meminta itu kepadanya dan dengan senang hati Mariam menyanggupi permintaanku. Sebulan sekali aku menyewa kamar kos putra harian. Disana kamar kosnya tidak ketat, sehingga tamu perempuan bisa keluar-masuk dengan leluasa. Tepatnya di daerah Pandan Wangi". 

Sembari menggelengkan kepala karena tidak percaya dengan cerita yang telah kudengar. Aku mencoba bersikap biasa saja. Sampai akhirnya mulut ini tidak tahan dan kuucapkan, " bangsat yaa..... eh Sory", ungkapku dengan nada marah. Seketika Adam menghentikan ceritanya dan menatapku dengan perasaan berdosa.

Ungkapku padanya, "Kalian saling menikati hubungan itu bahkan hingga bertahun-tahun. Semua nafsu yang kamu bungkus dengan nama cinta itu. Lantas jika kalian saling mencintai, mengapa setelah itu bisa kandas ? Bukankah kalian saling mencintai ?", tandasku sedikit menghakimi dia.

Pertanyaanku ini sepertinya membuat Adam semakin menyesali dan meratap. Ia sekarang hanya menghembuskan nafas panjang dan mengambil batang kretek yang sudah hampir ludes dari bungkusnya. Diminumnya air putih yang kupesan di meja sebelah buku yang berjudul cantik itu luka. Seperti dugaanku, ia membaca sekilas judul itu dan menatapku sekelebat.

Aku kembali mencoba menerawang yang ada dalam pikirannya. Sepertinya ia telah mengurungkan ceritanya kepadaku karena ucapan yang tidak sadar kuucapkan. Lantas aku meminta maaf dan menyampaikan terbawa emosi sesat atas cerita yang ia ungkapkan. Beberapa menit kami terdiam, dia menghabiskan sebatang kretek dan memelintirnya di dalam asbak colat kehitam-hitaman. Ia melanjutkan cerita yang terhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun