Mohon tunggu...
Imroah
Imroah Mohon Tunggu... Lainnya - Hidup dalam ketenangan

Seneng Ghibahahahaha

Selanjutnya

Tutup

Love

Tip Nikah Tanpa Gagal

23 April 2021   14:53 Diperbarui: 23 April 2021   15:00 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika, ada seorang teman yang ngersulo terhadap pernikahannya yang kandas ditengah jalan. Ketika itu ia menceritakan kronologi kegagalan menuju pernikahan yang tinggal satu bulan lagi. Kekasihnya bersikeras membatalkan pernikahan karena dalih ketidakcocokan. "Loooh, gimana bisa nggak cocok, wong ya udah tinggal hitungan hari gitu kok", jawabku terkejut.

Menurut tuturnya, si kekasih sebenarnya terlalu berat menerima dia dengan kondisi keluarga yang tetap menuntut menjadi tulang punggung selepas menikah. Namun si kekasih enggan menceritakan kejujuran itu. Dia berdalih kepada keluarga besar si teman ini bahwa ada ketidakcocokan dalam hubungan, termasuk perihal weton. Itu yang membuat dia menjadi linglung, memikirkan kejadian tragis yang menimpanya. Miris juga sebenarnya. Tapi, apa boleh buat. Pengalaman tetap pengalaman. Ia tidak berdiri sendiri, ada sebab pasti ada akibat. Itu sudah kodrat alam. Guman batinku.

Untuk menenangkan kawan saya ini. Lantas saya mengajaknya menyeruput kopi yang telah saya buatkan. Sembari menyodorkan rokok dan asbak kepunyaan ayah yang tidak dibawa bekerja. Aku sangat tahu dia bukan perokok aktif. Kupikir dengan rokok bisa meredakan sakit kepala, seperti yang ayahku lakukan.Ternyata ia menerima rokok itu dan meminta korek yang belum kusodorkan padanya. Mulailah dia menceritakan pengalamnnya itu, sembari membuat gelembung-gelembung dari asap yang ditiupnya.

Siang itu begitu mencekam. Keheningan siang berubah menjadi malam. Seperti wajahnya yang tampak menjadi kelam. Hingga tak tega menayai beberapa pertanyaan yang berkecamuk di otak. Dia lantas menyelonjorkan kaki dan memulai bercerita. "Awalnya memang salahku, tidak jujur atas keadaan keluarga. Aku sebagai anak pertama yang harus menghidupi dua adikku yang masih sekolah. Pekerjaan bapakku yang hanya penjahit keliling dan ibuku sebagai pedagang kelontong tidak lantas mencukupi kebutuhan sekolah kedua adikku. Semua tertumpu padaku", ia melihat lagit-langit ruang tamu, mencoba mengingat kembali kejadian demi kejadian.

"Aku yang selama ini berpenampilan necis semasa kuliah disalah-pahami oleh dia. Mungkin awalnya ia mengira aku anak kalangan menengah keatas, minimal kalangan menengah lah. Yaaa, aku mengakui ini murni salahku. Berjalan beberapa waktu kita pacaran. Aku mulai terbuka dengan kondisi keluarga. Menurutku tidak ada penolakan dalam raut wajahnya. Dia mendukung dan menyemangatiku. Dan yang aku tahu, dia bukan sosok perempuan materialistik. Namun aku belum terlalu mngenalnya dengan baik."

Cerita ini tak ubahnya seperti drama FTV ketika si teman ini tiba-tiba sesenggukan dan melanjutkan kisahnya. "Aku terlalu mencintai dia, hingga tanpa sadar sangat membatasi setiap aktifitaasnya. Puncaknya ia sangat marah dengan batasan yang menurutnya adalah keterlaluan. Gimana, namanya cinta. Aku cemburu ketika dia memprioritaskan karir dan teman-temannya. Namun ini menjadi runyam. Dia mulai memberontak dan seolah semua uneg-uneg dalam hatinya keluar" , dia berhenti tidak melanjutkan ceritanya.

Lantas aku memancing pertanyaan agar tidak hening,"apa yang dia ungkapkan ?", tanyaku sangat penasaran. Sembari mengambil sebatang rokok lagi, ia menceritakan kalanjutan kisahnya. "Iya, dia seolah meluapkan emosinya yang terpendam. Mengungkit semua yang selama ini dilakukan. Termasuk membantu keluargaku membayar hutang di bank. 

Membantu membiayai adik-adikku sekolah, membantu memperbaiki rumah dan menyoal tentang keputusanku untuk melanjutkan kuliah S2, yang ditolaknya kala itu. Dan menurutnya kuliah itu memperberat tanggung-jawabnya. Sungguh, aku mendengarnya begitu terpukul. Semua kata-katanya masih terekam jelas di ingatanku", ucapnya membuat sedikit lebih tragis.

Lantas karena aku sebagai perempuan ikut kesal dengan sikap temanku ini. Seolah dengan sadar memperdaya si kekasih untuk menjadi tulang punggung keluarga yang bukan tanggung jawabnya. Mungkin perkiraanku salah. Namun itu yang terlintas di pikiranku detik itu. "kowe yo othon, masak tresna kaya ngunu, jan-jane kowe mung ambisi golek arek wedok sugeh, sing nerimo awakmu. Njur mok plokotho, dalih tresno. Berarti si mbak kae isih waras", ungkapku begitu kesal. Si teman ini menatapku dan langsung menunduk. Mungkin menunduknya adalah bentuk pengakuan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kaliamat.

"Sebenarnya bukan sepenuhnya seperti itu", ungkapnya dengan lirih. Ia melanjutkan cerita yang menurut asumsiku adalah bentuk pembelaan. "sebenarnya ketika aku menceritakan kondisi keluargaku. Kita sepakat saling mendukung dan menerima. Tapi.....", dia pun mengurungkan ceritanya. "sing sabar, sing uwes kedadean ya weslah. Iki rokok e ayahku isih akeh. Entekno ora popo, hahaha", sahutku mencoba menghibur batinnya. Aku menjadi merasa bersalah ketika dalam sorot matanya seolah menyalahkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun