Mohon tunggu...
Imroah
Imroah Mohon Tunggu... Lainnya - Hidup dalam ketenangan

Seneng Ghibahahahaha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Muda Wajib Napak Tilas Pendidikan Nusantara (3)

17 Maret 2021   07:44 Diperbarui: 17 Maret 2021   07:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahawa tidak akan sempat untuk saya membaca sejarah. Maka saya putuskan untuk mengarang saja cerita yang saya dapatkan dari kawan lama. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa saya manfaatkan untuk mencari uang untuk makan, heuheu 

(baca Generasi Muda Wajib Napak Tilas Pendidikan Nusantara 2), dan siapa tahu ada yang rendah hati untuk mendengar. Tidak semua orang mampu menjadi pendengar yang baik.

Dikisahkan ada seorang kawan yang menceritakan tentang sebuah peradaban besar Jawa, namanya Kangkareng Anteng (anonim). Menurutnya awal peradaban Jawa itu bermula di wilayah yang disebut dengan daerah Kedu, Bagelan, Mataram dan Dieng. Secara perbedaan orientasi juga dibagi menjadi dua tipe daerah yakni pertama, daerah yang dikasai oleh rama. Kedua, daerah yang diperuntukkan untuk para petapa atau pujangga yang sering disebut dengan Parahyangan.

Parahyangan adalah daerah yang dihuni oleh para petapa, pujangga dan golongan intelektual. Didaerah ini, mereka fokus melakukan kegiatan olah ilmu yang berkaitan dengan teknologi, bahasa, kebudayaan, spiritual dan lain-lain. Model pembelajaran di Parahyangan ini menggunakan metode Upanishad yang berarti berada dibawah atau didekat kaki guru. Harus dipahami, metode pembelajaran ini berbeda dengan pembelajaran klasikal. Pada saat itu, proses pemelajaran antara guru dan murid cukup intim sehingga variasi level pemahaman antar murid bisa dikatakan hampir seragam. 

Kemudian saya menyela, apa kemudian proses pembelajaran kala itu diadopsi namun disalah pahami dengan pembelajaran klasikal ? Mata Kangkareng menatap kelangit-langit seolah mencari jawaban atas pertanyaan ini. "Yo ngunu kuwi, opo toh sing ora disalah pahami karo wong saiki ?", pungkasnya. Metode pembelajaran klasikal ini jauh berbeda dengan pembelajaran klasikal yang kita alami sekarang. Bakan seperti pembelajaran klasikal yang yang mempunyai kelemahan yakni kadar atau level berbeda ketika sampai pada murid. Perlu diingat, pada masa itu murid bisa berpindah guru sesuai dengan minat murid atas suatu ilmu. Kalau sekarang untuk pindah saja reribet dengan administrasi.

Ditengah asiknya dia bercerita. Aku menyela dengan nada satir dan tidak percaya. "Menurutku pemerintah memang menggunakan administrasi untuk memudahkan pencatatan, loh bagaimana mungkin pendidikan tidak diadministrasikan ? Pemerintah tidak akan tahu seberapa pencapaian sebuah lembaga apabila tidak melaporkan administrasi ke pusat, terlebih Indonesia yang begitu luas membentang". Menurutku, pandangannya tidak masuk akal, dari mana dia mengetahui hal semacam itu, sangat ngawur dan tidak berdasar.

Tidak lantas menjawab pertanyaanku, dia hanya memercingkan alisnya sambil menatap wajahku dengan tajam. "Dulu, murid mencari guru dengan kesadaran diri untuk mencari pengetahuan, kalau sekarang guru mencari murid agar tetap mendapat tunjangan. Pendidikan mengakar itu dari bawah keatas. Apa ada pohon tumbuh dari buah, ke bunga, ke batang, kedaun, ke pohon baru ke akar ? Sekarang semua dari atas kebawah".

Kangkareng melanjtkan cerita ngawurnya. Proses intelektual juga berpengaruh terhadap Parahyangan. Parahyangan berubah menjadi asrama yang artinya tempat orang melelahkan diri. 

Parahyangan juga disebut dengan Mandala yang berarti religious circle. pada perkembangan lebih jauh ketika terjadi perkembangan islam, asrama ini berubah menjadi pesantren. Namun ada kemunduran-kemunduran signifikan yang terjadi yakni penyempitan esensi pendidikan. Pesantren hari ini juga hanya mengakomodasi satu area pembelajaran dalam ranah religiusitas atau spiritualitas saja. Hingga puncaknya kita alami sekarang ini, semua dipersempit dan dikerucutkan sedemikian rupa.

Tidak berhenti kugunjing pernyataannya, "dari mana sampeyan tahu cerita-cerita ini. Pasti ngarang dan tidak berdasar". Kali ini dia menjawab pertanyaanku dengan nada sedikit kesal. "Kamu tak ubahnya seperti mereka, kalau ingin tahu ya belajar. Banyak prasasti peninggalan masa lalu yang tidak terjamah. Maksut tidak terjamah adalah prasasti yang ditinggalkan oleh nenek moyang hanya dialihbahasakan saja, diartikan saja. Namun tidak dipahami secara lebih mendalam dan ditadaburi", ungkapnya.

Dia melanjutkan cerita sembari menggerutu dengan menyampaikan, "Jika ingin serius, teliti. Ahli Phirology di Uniniversitas terkemuka di Yogyakarta bersedia membantu untuk bisa meneliti lebih mendalam. Sayangnya selama ini beliau terkesan diremehkan dan kurang dianggap. Entah karena tidak mau repot atau sudah nyaman dengan keadaan seperti ini, atau mungkin memang dibuat seperti ini agar mereka dianggap ahlinya ahli, intinya inti". Tidak lantas dia berhenti berbicara, seolah menyampaikan uneg-uneg yang lama dipendam sehingga diluapkan dengan sedemikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun