Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - .

Personal Blog: https://www.gagasanku.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Kumuhnya" DPR Kita

19 November 2017   21:49 Diperbarui: 20 November 2017   05:26 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cerita buruk soal DPR kita tak pernah usai. Lembaga yang dikatakan "terhormat" ini sama sekali tidak menunjukkan rupa hormatnya. Cap negatif dan kritik sarkas sekalipun dari masyarakat rupanya tidak mampu mengubah citra lembaga yang pernah dianggap mendiang Gus Dur sebagai taman kanak-kanak ini.

Khusus untuk beberapa waktu belakangan, ada tiga momen yang patut dicatat yang menurut saya ikut memperkuat penilaian dan persepsi buruk masyarakat untuk DPR.

Pertama, pembentukan Pansus Angket DPR soal KPK.  Sebagaimana diketahui, hak angket terhadap KPK ini berawal dari protes sejumlah anggota Komisi III atas kesaksian penyidik KPK, Novel Baswedan, dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam sidang tersebut, Novel yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam Haryani, mengungkapkan, Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP. Merasa tersinggung dengan kesaksian ini, DPR meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam, tapi ditolak oleh KPK.

Dalam perkembangan selanjutnya, alasan-alasan lain yang terkesan dipaksakan dimunculkan untuk memberi legitimasi pembentukan pansus. Pansus ingin menyelidiki kinerja KPK, tatakelola anggaran, tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan korupsi, khususnya terkait dengan dugaan terjadinya kebocoran dokumen dalam proses hukum seperti BAP, sprindik, dan surat cekal.

Publik yang waras merespon secara negatif pembentukan pansus ini. Persoalan-persoalan yang menjadi alasan adanya angket sebetulnya bisa diselesaikan dan dibahas dalam forum Rapat Dengar Pendapat KPK dan Komisi III DPR. Dari perspektif legal pun, ratusan akademisi dan pakar hukum telah secara tegas menyatakan pansus angket KPK ini ilegal.

Hanya saja, seperti kita semua ketahui, reaksi publik dan beragam pendapat ini diabaikan begitu saja oleh DPR. Kita pun disuguhi proses kerja pansus yang tampak amatiran dan tidak profesional. Mereka lebih banyak tunjukan "kebisingan". Saya perkirakan, ujung-ujungnya, pansus angket ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Padahal miliaran anggaran sudah digelontorkan untuk mengongkosinya.

Kedua, Ketua DPR yang tidak koperatif. Oleh KPK, Setya Novanto diduga terlibat dalam pusaran kasus KTP-el. Hanya saja, bukan soal itu yang mau kita soroti di sini, tapi soal respon Novanto terhadap proses hukum di KPK. Bayangkan, dari delapan kali pemanggilan dari KPK, entah sebagai saksi atau tersangka, Novanto hanya hadir tiga kali. Sangat terkesan tidak koperatif.

Sikap tersebut jelas tidak mencerminkan marwah dan kualitas jabatan sebagai ketua lembaga terhormat dan lembaga tinggi negara. Tidak keliru ketika Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai bahwa sikap Novanto telah merusak citra parlemen di masyarakat. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi bahkan menyebut Novanto  sebagai Ketua DPR terburuk dalam menjalankan institusi tersebut.

Ketiga, kebisingan Fahri Hamzah. Keberadaan Fahri di DPR memang unik. Jadi wakil rakyat tanpa punya partai. Yang menjadi soal adalah pernyataan-pernyataan kontroversialnya terkait kasus KTP-el. Tanpa merujuk pada data dan hanya mengandalkan pengakuan Novanto, secara serampangan menilai kalau kasus KTP-el diproses berdasarkan pesanan orang kuat dan terkait dengan pemilu 2019.

Yang lebih nyeleneh, dia mempertanyakan kebenaran kerugian negara Rp 2,3 T dari kasus KTP-el, lalu secara infantil melontarkan sayembara picisan hadiah sepeda untuk siapa pun yang bisa tunjukan bukti kerugian negara tersebut kepadanya. Sikap seperti ini jelas sangat tidak pantas dan bukan level seorang anggota DPR, apalagi berkedudukan sebagai salah satu wakil ketua lembaga tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun