Mohon tunggu...
Reis Rivaldo R
Reis Rivaldo R Mohon Tunggu... Freelancer - MIND SHAPES YOU AND WORDS REPRESENT YOU

Mhs. Hubungan Internasional ak. 2017. Membuka diri untuk menerima kritik, masukan, dan arahan dari teman-teman pegiat literasi, akademisi, aktivis, kaum rebahan, personil militer aktif, seniman, influencer, dan pemangku kebijakan. Berniat untuk berbagi ilmu dan bertukar pikiran ? @reisaldo.r

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konvensi dengan Non-Muslim di Era Abu Bakar

1 November 2019   22:46 Diperbarui: 1 November 2019   23:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Abu Bakar dikenal sebagai sosok langka perpaduan antara pribadi yang tegas dan lembut. Setelah ditinggal oleh mendiang Rasulullah SAW, banyak masyarakat muslim yang enggan membayar zakat. Abu Bakar paling keras menumpas para provokator yang menyerukan agar muslim tidak lagi wajib membayar zakat.

Meskipun Abu Bakar sama sekali menolak memberikan konsesi agar diperbolehkan tidak membayarkan zakat, beliau tetap mengadakan beberapa kesepakatan terhadap masyarakat yang menjadi tanggungjawab sang Khalifah. Abu Bakar tidak menutup diri dalam hal relasi dengan mereka yang bukan beraga Islam, malah beliau merawat hubungan tersebut dengan sebaik-baiknya karena untuk mencapai suatu kestabilan sosial, semua elemen terlepas dari latar belakang apapun perlu dirangkul dan saling menjaga hubungan baik. Kesepakatan pertama ialah dengan penduduk Kristen Najran yang berisi bahwa para penduduk Najran yang berbeda agama dengan agama Khalifah tetap dijamin keamanan dan perlindungan penuh kepada mereka sebagaimana Khalifah melindungi rakyat muslim selama penduduk Kristen Najran bersedia membayar jizyah sebagai gantinya. Mereka bisa memberikan Jizyah dalam bentuk kuda, pakaian yang ditenun sendiri, perabotan rumah, dan logam. Orang-orang Najran bebas melakukan ritual keagamaan mereka, tidak ada satupun gereja yang diratakan ke bumi.

Segenap jiwa, kekayaan, dan tanah milik mereka menjadi hak penuh mereka. Masyarakat muslim dilarang menganggu kenyamanan mereka. Abu Bakar senantiasa menjaga pola hubungan ini sebagaimana yang telah dicontohkan semasa Rasulullah SAW masih aktif memimpin pemerintahan. 

Selanjutnya, Abu Bakar meratifikasi perjanjian yang diberlangsungkan oleh pihak muslim dengan pihak asing yang berbeda keyakinan pula, kesepakatan ini disebut dengan kesepakatan Hirah. Khalid bin Walid yang kala itu memimpin pasukan ke wilyah Persia bertemu dengan seorang representasi dari penduduk Hirah bernama Amar bin Abdul Masih. Wilayah Amar berhasil ditaklukan oleh pasukan Khalid, lantas penduduk setempat sempat berpikiran bahwa orang-orang Islam akan memperlakukan mereka semena-mena. Ternyata mereka terkesima dengan kebaikan dan kegagahan pasukan Islam, mereka justru merasa terhormat karena telah berkesempatan untuk membina relasi dengan Khalifah Islam, salah satu satuan terkuat yang ada di zaman tersebut. Konvensi tersebut pertama kali dilaksanakan secara langsung oleh Khalid bin Walid sebagai perwakilan dari pihak Islam dan ditandatangi oleh Abu Bakar pada tahun kedua pemerintahannya. Isi Konvensi Hirah adalah sebagai berikut:

 "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang" Ini adalah kesepakatan antara Khalid bin Walid yang dibuat dengan Adi dan Umar, anak-anak Adi Amr bin Abdul Masih Ayas bin Qabasah dan Khairi bin Haikal. Mereka adalah representatif dari orang-orang Hirah. Dalam kesepakatan ini disepakati bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan dan harta, para pendeta dan rahib serta biarawan untuk membayar sebanyak seratus sembilan puluh ribu dirham setiap tahun sebagai upeti (jizyah). Sedangkan mereka yang miskin dan tidak memiliki kekayaan dunia mendapat perkecualian. Dasar dari kesepakatan itu adalah proteksi (perlindungan, dzimmah). Jika saya, Khalid bin Walid, gagal memberikan perlindungan kepada mereka, maka upeti itu tidak wajib untuk dibayarkan, dan jika mereka (rakyat Hirah) melanggar kesepakatan ini baik lewat kata dan aksi, mereka akan kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan" 

Substansi Konvensi Hirah juga dipraktekan serupa ketika Khalid bin Walid menaklukan daerah Bashrah. Disana Khalid berhasisl mencapai kesepakatan dengan gubernur Bashrah yang masih memeluk agama Kristen. Kesepakatan terhadap gubernur tersebut yaitu memberikan kebebasan berdagang, beribadah, dan gereja-gereja serta monumen-monumen dibiarkan mendapat perlindungan. Besaran Jizyah kepada penduduk Bashrah senilai empat dirham perindividu. pada suatu waktu penduduk Bashrah mendapat serangan dari pasukan Romawi dan kaum muslimin gagal melindungi mereka, maka Khalifah secara lugas untuk mengembalikan uang Jizyah mereka. Sikap luar biasa yang dicontohkan oleh kaum muslimin mendapat respon yang luar biasa dari penduduk Bashrah. Mereka kemudian berdoa agar dipimpin oleh kekhilafahan Islam daripada tunduk di bawah orang-orang Romawi karena mereka tidak menyukai Romawi yang tidak mengembalikan hak-hak mereka, justru mengambil apapun yang tersisa dari mereka. 

Ketika Islam menaklukan suatu wilayah yang berbasis non-Islam, pilihan yang diberikan oleh Islam bukanlah deadlock yang bermaksud Islam hanya memberikan pilihan "Islam atau mati". Masih ada alternatif yang lebih manusiawi untuk menyelesaikan perkara tersebut guna membangun hubungan yang terjalin antara segala pihak. Jizyah yang ditawarkan oleh Islam juga mempunyai persyaratan tertentu. 

Berlandaskan Konvensi Hirah, terdapat klausul yang berbunyi: 

"Jika ada orang tua dan tidak memiliki kekuatan untuk menopang hidupnya, atau seseorang yang bukan dengan keinginannya sendiri menjadi miskin papa dan menyandarkan hidupnya kepada kebaikan saudaranya sesama Kristen, maka orang tersebut harus dikecualikan dari kewajiban membayar jizyah. Dan selanjutnya mereka mendapatkan subsidi dari kas negara" 

Bagi orang yang sudah lanjut usia, orang-orang yang bukan karena keinginannya sendiri menjadi miskin, yang membutuhkan uluran tangan saudara kristennya yang lain untuk menyambung hidup terbebas dari kewajiban membayar Jizyah bahkan mereka subsidi dari kas negara. Inilah pola pemerintahan Islam yang sebenarnya, semua masyarakat dari latar belakang apapun adalah sama dimata Allah SWT. Khalifah Islam memperlakukan rakyatnya sesuai dengan kadarnya masing-masing selama perlakuan penguasa terhadap rakyatnya dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyaman bersama. 

Referensi:

 Iqbal, A. (2000). Diplomasi Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun