Mohon tunggu...
Reis Rivaldo R
Reis Rivaldo R Mohon Tunggu... Freelancer - MIND SHAPES YOU AND WORDS REPRESENT YOU

Mhs. Hubungan Internasional ak. 2017. Membuka diri untuk menerima kritik, masukan, dan arahan dari teman-teman pegiat literasi, akademisi, aktivis, kaum rebahan, personil militer aktif, seniman, influencer, dan pemangku kebijakan. Berniat untuk berbagi ilmu dan bertukar pikiran ? @reisaldo.r

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komitmen Turki Menangani Polemik Pengungsi Suriah Sejak Tahun 2016

28 Oktober 2019   15:53 Diperbarui: 28 Oktober 2019   16:00 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manifestasi Diplomasi Islam Turki dengan Uni Eropa

Beberapa negara yang tengah dikoyak konflik bersenjata berbatasan langsung  dengan negara Turki diantaranya Suriah, Irak, Iran, serta tetangga lainnya yaitu Lebanon. Sederet nama negara ini menghadapi krisis kemanusiaan akibat perang internal yang telah diinternasionalisasi yang tidak kunjung menemui titik akhir. Suriah misalnya, pertentangan antara kubu pemerintah rezim Bashar Al-Asad dan kelompok oposisi yang juga disokong oleh Turki masih berlanjut sejak tahun 2011. Saat itu, fenomena Arab Spring atau musim semi Arab yang digambarkan dengan jatuhnya kekuasaan presiden Tunisia ternyata memberikan inspirasi kepada beberapa kelompok pro demokrasi di Suriah untuk melakukan hal serupa.

Bagaimanapun juga, sejauh ini konflik Suriah terus berkembang dengan menyeret beberapa aktor penting yaitu Rusia, Pemerintah Suriah, Amerika Serikat, Iran, Turki, Kurdi, Irak, Israel dan NATO (Scot Lucas, 2018). Beda cerita dengan apa yang terjadi di Irak. Ketegangan berdarah antara sesama orang Irak telah berlangsung sejak tahun 2014 hingga sekarang. Perang yang awalnya tergolong ke dalam perang saudara ternyata tetap menjadi sebab Amerika Serikat dan Iran untuk turut melakukan serangan dengan alasan membantu serangan untuk menggempur ISIS hingga ke akar-akarnya (ALJAZEERA, 24).

Setelah entitas-entitas bersenjata yang memiliki daya hancur tinggi tersebut melancarkan serangannya, lalu apa? Apa yang terjadi ? Apa dampaknya? Tidak kah mereka mestinya telah memperhitungkan segala untung ruginya? seharusnya, ketika kekuatan militer dan bersenjata menjalankan operasi tempur diimbangi dengan kalkulasi proper (kesesuaian), limitation (batasan), dan Precaution (pencegahan) namun kenyataannya variabel-variabel tersebut nampak luput dari perhatian besar para pembesar dari setiap pihak yang bertanggung jawab.

Dampak yang paling mengena ialah apa yang dirasakan rakyat sipil. Berangkat dari sinilah, ratusan bahkan ribuan jiwa yang masih berjuang untuk menyambung hidup rela berjalan menempuh ribuan mil dan tidak lagi menghiraukan arti batasan-batasan teritorial setiap negara. Melalui laut Mediteranian dan Yunani sebagai pintu gerbang ke Eropa, tujuan pelarian mereka ialah ke Jerman, Prancis, dan sudah tentu ke Turki. Mereka ini, ketika sampai di negara lain, khususnya negara-negara Eropa, mendapat sebutan yang bermacam-macam, ada yang menyebut mereka sebagai imigran, pengungsi, pencari suaka, penyintas, dan bahkan ada sebutan yang lebih kejam lagi, yaitu pembawa penyakit. Setidaknya, satu istilah yang dapat disepakati ialah mereka semua ialah korban. korban dari konflik antar kepentingan yang mengesampingkan asas-asas kemanusiaan.

Pernyataan inti dari tulisan ini ialah lantas bagaimana penanganan lanjutan untuk para korban yang semuanya berasal dari masyarakat sipil tersebut? Adakah negara yang mau menerima mereka? Adakah negara yang bersedia untuk bertanggung jawab ? atau adakah negara yang rela mendermakan sebagian materi, jiwa, dan kepentingan nasionalnya untuk mengakomodasi manusia-manusia yang rentan ini? Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Turki lah salah satunya negara yang maju untuk menanggung beban itu semua.

Menyambut korban konflik ke negara sendiri tidaklah semudah menyambut tamu masuk ke rumah. Pemerintah disamping harus menjamin korban tersebut tetap terlayani dan menjamin hak-hak fundamentalnya sebagai manusia terpenuhi, tetap tidak boleh melupakan keperluan dan kebutuhan rakyatnya sendiri. Mengurusi pekerjaan kemanusiaan yang mana objeknya bukan dari rakyat sendiri sudah barang pasti turut melibatkan peranan dan kehadiran dari negara lain. Penanganan korban konflik bersenjata yang menjadi pengungsi di negara lain sedikit banyak merepotkan negara di sekitarnya. Di sinilah diplomasi bermain yang akan mempengaruhi dinamika peraturan dan perilaku setiap negara dalam menyikapi masalah pengungsi sebagai korban perang bersenjata di negara asalnya. Belakangan ini, banyak media mainstream menyorot Turki yang menjadi aktor inti untuk menyelesaikan polemik ini.  

Penulis berusaha agar tidak terlalu subjektif, bahwa mayoritas dari pengungsi ini ialah mereka yang memeluk agama Islam, terlepas dari Islam Sunni, Syiah, atau aliran minor lainnya. Berkaitan dengan identitas Islam mereka, sebenarnya para pengungsi tidak langsung menjatuhkan pilihan mengungsi Turki. Harapan mendapat kesejahteraan dan perlindungan justru mereka sandarkan kepada negara-negara Eropa, karena gugusan negara tersebut telah meratifikasi konvensi mengenai pengungsi, apalagi negara Jerman.

Setelah berjalannya waktu, ternyata dalam tubuh Uni Eropa mengkehendaki perubahan arah kebijakan dalam menangani lajunya pertumbuhan pengungsi yang secara 'keroyokan' mendatangi benua biru tersebut. Perubahan kebijakan ini didalangi dari seruan dan tekanan yang dilakukan oleh partai-partai oposisi di internal pemerintahan hampir di setiap negara anggota Uni Eropa yang mana partai-partai oposisi ini berhaluan kanan. Partai sayap kanan di Eropa awalnya bukanlah partai yang laku, namun setelah mereka mengkampanyekan anti-Islam, menjual isu bahwa Islam bakal menjadi ancaman yang akan menggerus budaya asli Eropa sedikit demi sedikit, lambat laun banyak masyarakat mulai memberikan suaranya kepada partai-partai bersayap kanan di Eropa. Semua perubahan sikap orang-orang Eropa sebenarnya tidak lepas dari doktrin Presiden Trump sejak dia dilantik menjadi presiden Amerika Serikat pada Januari 2017 yang bersifat mendeskreditkan Islam.

Selanjutnya, Uni Eropa mengambil langkah diplomatis dalam menentukan kebijakan mengenai penerimaan kuoata pengungsi. Turki yang dianggap sangat dekat identitasnya dengan identitas pengungsi beberapa tahun terakhir menjadi harapan besar negara-negara Eropa untuk bisa menampung pengungsi tersebut. Seperti dilansir dari media berita CNN bahwa  Kesepakatan awal pada tahun 2016 antara Uni Eropa dan Turki menyebutkan Uni Eropa akan mengembalikan semua imigran yang belum bisa terdata secara administratif ke Turki, sebagai imbalannya Turki menerima bantuan politik dan keungan dari Uni Eropa. Kesepakatan tersebut dihadiri oleh Perdana Menteri Turki (2014-2016) Ahmet Davutoglu di Brussels.

Imbalan lainnya yang didapat Turki ialah warga negaranya mendapat visa berwisata gratis untuk mengunjungi 28 negara Eropa. Masih dari situs berita CNN, kesepakatan tentatif tersebut menjelaskan bahwa Uni Eropa tetap menerima pengungsi dari Suriah yang tidak tertangani Turki ketika pengungsi tersebut masuk dari pulau Aegean (Konstantindis, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun