Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Riwayat Seks dan Sakralitas Persetujuan di Nusantara

23 September 2020   12:31 Diperbarui: 23 September 2020   21:15 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief Cerita Panji di Candi Penataran (Koleksi Chronicles of Indonesian Archipelago, 2019)

Pemateri berfokus secara tegas pada keharusan adanya persetujuan di dalam hubungan seks, meskipun di dalam lembaga pernikahan---yang mungkin dianggap selalu sehat dan sah oleh Yusuf, padahal menjadi ladang kekerasan seksual yang mengkhawatirkan.

Sejak sebelum masuknya kebudayaan India ke Nusantara, corak kemasyarakatan wilayah ini sudah menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap suatu persetujuan, baik dalam ranah seksual maupun di luar itu. Persetujuan, perjanjian, dan bentuk-bentuk perikatan lain dipandang memiliki segi sakralitas yang pantang untuk diabaikan.

Saya pernah membahas penghargaan masyarakat Nusantara terhadap persetujuan dan perjanjian dalam bidang ekonomi pada artikel "Mental Pajak dan Utang Nusantara".

Selain segi persetujuan, segi seksualitas juga memiliki posisi yang sangat penting dalam pengaturan masyarakat di Nusantara.

Namun, berbeda dengan bayangan umum masa kini, perempuan di wilayah ini memiliki supremasi yang lebih tinggi dalam hal seksual---di sini, laki-laki merupakan objek seksual dari perempuan dan bukan sebaliknya seperti yang kita lihat di dunia Eropa.

Reid (2014) menyebutkan bahwa contoh yang baik untuk memahami ini adalah melalui sastra Melayu dan Jawa, seperti Hang Tuah dan Panji.

Kedua cerita menampilkan pesona pahlawan laki-laki yang secara tidak langsung berfungsi sebagai sarana rekreasi bagi pembaca perempuan.

Hal ini berbeda dengan kasus Eropa yang menampilkan kecantikan dan pesona perempuan sebagai sarana hiburan bagi pembaca laki-laki.

Orang-orang Jawa, Thai (Siam), Birma (Myanmar), dan Filipino pada sekitar abad ke-15 hingga 17 tercatat sebagai masyarakat yang sangat aktif secara seksual.

Konsep-konsep kuno masa Hindu-Buddha dan sebelumnya tentang sakralitas hubungan seks---yang sangat mungkin juga dikuatkan oleh konsep yoga dan tantra pada masa Hindu-Buddha---selalu dijunjung tinggi.

Fungsi dan arti seks mengalami perubahan sepanjang zaman. Pada masa Hindu-Buddha, seks memiliki arti penting seremonial dan bahkan dijadikan sarana untuk mencapai tahap pencerahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun