Belum lagi bila kita mempertimbangkan keberadaan ciri khas Melanesia dan Polinesia dalam beberapa corak kebudayaan kita yang menyatukan kita dengan bangsa-bangsa Oseania. Kesatuan 'timur' mana yang akan kita gunakan dengan bercermin pada kekayaan makna ini?
Dengan demikian, 'kebudayaan timur' atau bahkan 'kebudayaan Indonesia' adalah suatu istilah yang berat bila digunakan untuk sekedar mengeliminasi sesuatu yang dianggap bukan bagian dari pandangan diri pribadi seseorang.
Sebagai contoh, tidak ada pakaian yang tidak sesuai dengan budaya timur.
Dalam aspek terbuka atau tidaknya suatu pakaian, Jawa dan Bali hingga tahun 1940-an masih tercatat menampilkan pakaian perempuan yang tidak menutupi payudara; sedangkan Cina hingga keruntuhan Dinasti Qing mengharuskan perempuannya untuk berpakaian tertutup hingga leher, pergelangan tangan, dan ujung kaki. Ketika melabeli suatu bentuk pakaian tidak sesuai dengan 'budaya timur', kesatuan mana yang digunakan?
Keberagaman ini menjadi berlipat ganda variannya bila kita mempertimbangkannya pada spasial dan temporal yang berbeda---sepanjang zaman di semua wilayah geobudaya timur.
Istilah ini hanya dapat secara tepat digunakan untuk membedakan kesatuan geobudaya, yaitu geobudaya barat yang mencakup dunia Atlantik (Eropa dan Amerika) dan geobudaya timur (Asia)---yang sesungguhnya secara tidak hati-hati telah menyingkirkan eksistensi kesatuan geobudaya lain seperti Afrika.
Kini, mari kita kembali pada persoalan ungkapan Yusuf yang menyebut bahwa pendidikan seksual oleh Puska Genseks tadi tidak sesuai dengan nilai kultural Indonesia.
Saya sesungguhnya menduga bahwa Yusuf telah membuat sebuah asumsi atau interpretasi tersendiri yang cukup menyimpang dari pendidikan seksual yang disampaikan UI.
Ketika mendengar Yusuf, saya berpikir bahwa UI menyebutkan secara jelas bahwa, "[...] hubungan seks dengan persetujuan antara mahasiswa-mahasiswi [...] yaitu consensual sex (dengan persetujuan) [...] dianggap itu seks yang sehat, yang sah [...]". Namun demikian, rupanya ini adalah asumsi Yusuf semata.
Pada materi itu, UI memberikan pengertian tentang persetujuan (consent) agar semua peserta memiliki pemahaman bahwa suatu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan merupakan kekerasan seksual. Pihak pembawa materi sama sekali tidak menyebut bahwa hanya dengan sekedar persetujuan, suatu hubungan seksual dapat dianggap sehat dan sah.
Pada titik ini, materi asli yang disampaikan UI sama sekali tidak bertentangan dengan nilai kultural masyarakat Nusantara.