Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ahli-ahli Nujum dan Kegagalan Medis dalam Pandemi

25 Mei 2020   12:23 Diperbarui: 5 Agustus 2020   08:07 6001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doekoen van Kandangan, nabij Loemadjang (1925) | Koleksi KITLV

Untuk mencari jalan tengah dari kontradiksi ini, ilmu medis tampaknya harus berkolaborasi secara intensif, tidak hanya dengan ilmu psikologi, tetapi juga ilmu humaniora.

Bila kita menengok pada praktik dukun-dukun, orang sakit yang datang mengadu kepada mereka umumnya akan diajak bercakap-cakap tentang hal yang mungkin menjadi beban hidup dan penyebab sakitnya. 

Dukun memberi fasilitas konsultasi kemanusiaan kepada pasiennya. Di sisi lain, manusia memiliki kebutuhan untuk didengar. Sarana yang diberikan oleh dukun untuk mendengar dan kebutuhan pasien untuk didengar pada akhirnya menciptakan suatu bentuk "obat kemanusiaan". 

Penyakit medis yang nyata diderita oleh pasien mungkin tidak tersembuhkan oleh dukun, tetapi pasien tersebut merasa perlu untuk terus datang kepada dukun untuk mendapatkan "obat kemanusiaan" tadi. 

Dengan bercermin pada kenyataan historis ini, efektivitas kinerja dokter-dokter pada masa kini akan meningkat dengan luar biasa bila mereka dapat menjadi "dukun-dukun" kontemporer. 

Di tengah pandemi, akan sangat susah untuk mendekati alam pikir masyarakat hanya dengan berbekal kenyataan medis. Imbauan medis yang sejatinya benar dan baik dilaksanakan akan dipandang sangat jauh dari kemanusiaan sehari-hari.

Kecenderungan manusia untuk mendekat kepada aspek yang memanusiakan mereka juga kemudian menjelaskan alasan adanya protes keras ketika sarana-sarana keagamaan ditutup untuk menghindari penyebaran virus. 

Secara kemanusiaan, ledakan-ledakan emosi tersebut dapat dimengerti karena manusia telah sejak permulaan peradaban bergantung pada agama atau kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan "obat kemanusiaan". 

Saya tentu tidak mengkritik kebijakan pemerintah untuk menutup sarana-sarana keagamaan, tetapi saya hanya memberikan suatu pemaparan logis tentang penyebab ledakan-ledakan tersebut muncul. 

Sejalan dengan hal itu, tulisan ini juga tidak memberikan kritik terhadap kinerja medis, tetapi memberikan gambaran penyebab kegagalan medis untuk memberikan "obat" bagi masyarakat yang bergejolak.

Di tengah situasi pandemi ini, mungkin sangat relevan untuk kembali melihat gagasan Foucault tentang refleksi sejarah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun