Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konflik Perairan Natuna di Antara Kolonialisme dan Kartografi

8 Januari 2020   14:42 Diperbarui: 8 Januari 2020   23:20 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permulaan tahun 2020 dibuka dengan serangkaian ketegangan yang mencuat di berbagai belahan dunia. Sebuah kasus yang secara langsung memiliki kaitan dan bersentuhan dengan kepentingan Indonesia adalah permasalahan hegemoni Laut Cina Selatan hingga Laut Natuna Utara. Secara toponimi atau penamaan geografis, Indonesia menyebut perairan Natuna sebelah utara dengan sebutan yang terakhir tadi untuk menghindari klaim historis Cina yang sangat mungkin menyasar wilayah laut tersebut.

Dengan argumen Cina yang didasarkan pada catatan sejarah mereka, pendekatan kesejarahan menjadi sangat relevan untuk melihat masalah ini. Saya sendiri telah menaruh keingintahuan yang cukup mendalam terhadap kedudukan atau pendirian Cina mengenai klaim wilayah lautnya ini.

Ketika kita sebagai masyarakat Indonesia, sebuah republik yang berdiri pada tahun 1945, melihat permasalahan klaim historis Cina, mungkin terdapat perbedaan pemahaman. Cina berargumen bahwa aktivitasnya di perairan Laut Cina Selatan dilegitimasi oleh catatan historis mengenai aktivitas pelayaran nelayan tradisional Cina di wilayah tersebut. Aktivitas nelayan ini disebutnya berlangsung di dalam wilayah yang digambarkan dalam peta Sembilan Garis Putus-putus. Jelasnya, dengan argumen bahwa wilayah ini merupakan area penangkapan ikan tradisional nelayan Cina, pemerintah Beijing ingin membuatnya tetap demikian.

Dasar lain yang diajukan oleh pemerintah Beijing adalah bukti peta yang menunjukkan wilayah ini sebagai perairan tradisional di mana Cina beraktivitas. Cina menyatakan bahwa peta ini merupakan bentuk akhir yang digunakan oleh pemerintah Republik Cina pada permulaan abad kedua puluh. Dengan mempertimbangkan bahwa Republik Cina menyatakan kemerdekaannya sebagai pengganti kekuasaan tradisional Dinasti Qing, berarti peta ini dilihat pula sebagai wilayah perairan Qing secara historis. Pada titik ini, sudah ada keberbedaan yang sangat jelas di antara Indonesia dan Cina dalam melihat batas teritorialnya.

Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan kemerdekaannya dari segala kekuatan asing. Wilayah yang merdeka tersebut diklaim dengan jelas merupakan wilayah Hindia Belanda yang pada Perang Dunia Kedua diduduki oleh Jepang. Dengan demikian, Indonesia adalah Hindia Belanda yang merdeka.

Luas wilayah dan teritori yang diproklamasikan merdeka adalah wilayah dan teritori yang dulu menjadi kekuasaan Kerajaan Belanda di Asia. Para pejuang kemerdekaan tidak memerdekakan diri dengan dasar teritori kekuasaan Majapahit atau Srivijaya. Dengan demikian, kita tidak memasukkan Semenanjung Malaya dan bagian selatan Filipina dalam wilayah yang kita nyatakan merdeka tahun 1945. Dasar ini sangat berbeda dengan Cina.

Revolusi nasional Cina di bawah Sun Yat Sen pada awal abad kedua puluh merupakan revolusi untuk menciptakan tatanan baru, bukan sepenuhnya memerdekakan diri dari kekuatan asing. Tujuan revolusi tersebut bukan menggulingkan pemerintahan asing, namun justru mengubah bentuk dari monarki ke republik. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Cina sesungguhnya tidak mengalami kolonialisme tunggal seperti apa yang terjadi di sebagian besar negeri-negeri Asia Tenggara. 

Cina banyak kehilangan wilayahnya kepada negeri-negeri Eropa dan Amerika dalam wujud wilayah konsesi. Dengan demikian, pemerintah Dinasti Qing tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara lain. Hanya saja, terdapat kota-kota pelabuhan yang dikuasai negara-negara Atlantik dan menjadikan Cina sebagai korban hipokolonialisme (lihat di keterangan istilah).

Hal ini memang menghasilkan ketidakpuasan yang menjadi salah satu faktor revolusi, namun bukan menjadi satu-satunya faktor. Dengan demikian, ketika Republik Cina terbentuk, teritori yang diklaim olehnya merupakan teritori tradisional Dinasti Qing, bukan teritori sebuah negara kolonial.

Bila kita secara cermat memperhatikan kembali sejarah kawasan Asia bagian tenggara dan timur laut, kita akan menemukan bahwa konsep wilayah teritori pada kawasan ini cukup unik. Wilayah ini tidak mengenal perairan eksklusif, namun justru laut bebas dengan kebebasan aktivitas di dalamnya. Dengan skema ini, wilayah aktivitas suatu negara dapat mencapai wilayah yang sangat luas. Aktivitas perikanan tradisional masyarakat Nusantara misalnya mencapai Australia dan Filipina.

Sangat mungkin bahwa konsep ini merupakan konsep yang membangun wilayah Sembilan Garis Putus-putus yang diklaim Cina. Mungkin kita kemudian dapat bertanya, mengapa kita tidak mengadakan klaim aktivitas perikanan tradisional dengan konsep yang sama dengan Cina sebagai tandingan? Permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam pertanyaan ini adalah dasar kemerdekaannya. Indonesia tidak mengklaim kemerdekaan dengan dasar teritori tradisional, sedangkan Cina mendasarkan kemerdekaannya pada entitas tradisional.

Dengan demikian, terdapat perbedaan dasar yang menyebabkan perbedaan sisi pandang. Indonesia yang pernah mengalami kolonialisme mendasarkan kemerdekaan dan pembentukan negara (state-building) atas pengalaman kolonialisme. Sedangkan, Cina yang tidak pernah mengalami kolonialisme mendasarkan kemerdekaan mereka atas entitas tradisional dinasti-dinasti lama.

Pengetahuan mengenai perbedaan dasar dan pengalaman ini seharusnya dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan para diplomat yang ingin menyelesaikan konflik di perairan Natuna. Kita perlu menegaskan cara kita memandang teritori dan masalah kewilayahan kita.

Selain itu, terdapat satu permasalahan yang diungkapkan ahli wilayah kelautan dan diplomat Indonesia, Prof. Hasjim Djalal, yaitu mengenai keengganan Cina untuk menjelaskan maskud sebenarnya klaim Cina. Dalam berbagai perbincangan, Cina menghindari untuk menjelaskan secara pasti apa yang dimaksud dengan wilayah Sembilan Garis Putus-putus dan bentuk klaim Cina. Djalal sempat menanyakan perihal bentuk klaim ini, apakah yang dimaksud adalah klaim teritori, wilayah ekonomi eksklusif, atau hanya wilayah tangkap ikan tradisional.

Pada titik ini, Cina tetap tidak menjelaskan secara terperinci. Kita akan kesulitan untuk memaksa Cina menjelaskan maksud detailnya tanpa memahami perbedaan dasar kolonialisme dan dasar pemikiran tadi. Sangat mungkin bahwa Cina berusaha membingungkan para diplomat kita. Salah satu solusi yang mungkin dapat dibawa adalah meletakkan pengetahuan kita di atas meja perundingan.

Pada akhirnya, mungkin terpikir di benak banyak orang untuk membawa klaim tradisional kita pula sebagai senjata terakhir menghadapi perundingan dengan Cina. Namun demikian, muncul kembali satu masalah yang sangat penting. Kebudayaan Nusantara yang berkaitan dengan kartografi sangat terbatas, berbeda sekali dengan Cina.

Tidak banyak arsip atau naskah yang menunjukkan secara materiel mengenai wilayah kekuasaan nyata Majapahit atau Srivijaya yang kita anggap sangat luas. Sedangkan, Cina memiliki sisipan peta-peta dalam catatan historis setiap dinasti. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mengatasi ini adalah menciptakan produk visual yang diolah dari narasi teks historis kita mengenai luas wilayah.

Hal ini memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai bidang ilmu, utamanya sejarah, arkeologi, dan geografi. Kini kita dapat melihat bahwa permasalahan perairan Natuna dan perairan berkonflik Indonesia yang lain tidak saja merupakan masalah kekinian, namun juga permasalahan kesejarahan. Apakah kita akan terus mengesampingkan humaniora dalam zaman yang semakin membutuhkannya?

Istilah Hipokolonialisme

Hipokolonialisme adalah istilah khas untuk menyebut keadaan Cina pada paruh kedua abad kesembilan belas (setelah Perang Candu Pertama) yang wilayah pesisirnya dibagi-bagi dan dikuasai kekuatan kolonial asing. Dengan demikian, Cina tidak mengalami penguasaan kolonial tunggal, namun dari sisi pandangnya justru lebih parah.

Daftar Sumber

Cressey, George B. 1955. Land of the 500 Million: A Geography of China. London: McGraw Hill Book Company.

Duyvendak, J. J. L. 1947. Wegen en Gestalten der Chineesche Geschiedenis. Amsterdam: Elsevier.

Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). 2020. "Indonesia-China Tension over The North Natuna Sea: Interview with Prof. Hasjim Djalal, Expert on International Law of the Sea" Wawancara oleh Calvin Khoe pada 6 Januari 2020 di Jakarta.

Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perniagan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu.

Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Vlekke, Bernard M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun