Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hakim, Pandai Besi, dan Para Penguasa Dunia Melayu

27 Juni 2019   14:07 Diperbarui: 24 April 2022   23:10 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Istimewa | Moskee in Atjeh (KITLV, 1935)

Hakim selalu menempati posisi yang paling tinggi dalam penentuan keputusan atas suatu perkara. Dalam perkembangan politik belakangan ini, sosok hakim juga mengambil peran penting untuk menentukan hasil akhir sengketa pemilihan umum tahun 2019. Untuk menyambut keputusan hakim-hakim konstitusi, pembahasan mengenai peran dan arti penting hakim dalam percaturan kekuasaan di Dunia Melayu merupakan hal yang sangat menarik. 

Munculnya konsep hakim sebagai penentu sengketa sesungguhnya tidak saja muncul sejak masa kesultanan Islam, namun sudah berkembang sejak masa klasik. Kita telah mengenal jabatan dharmadhyaksa dalam tatanan kenegaraan Majapahit. Sekalipun demikian, tulisan ini tidak akan membicarakan fungsi hakim untuk memutus perkara tadi.

Salah satu aspek yang menarik untuk dibicarakan adalah peran hakim sebagai penentu kekuasaan. Peran hakim untuk menentukan dan melegitimasi kekuasaan seorang penguasa lahir pada masa Islam. Hal ini berkaitan dengan perubahan pemahaman masyarakat terhadap seorang penguasa. Dalam masyarakat Asia Tenggara masa klasik, seorang penguasa atau raja dipandang sebagai perwujudan nyata dari seorang dewa. 

Dengan demikian, kekuasaan seorang raja bersifat sakral dan magis. Kekuasaan ini tidak dibatasi oleh lembaga lain karena seorang raja dipercaya memiliki wahyu dari dewa-dewa. Melalui skema itu, satu-satunya cara untuk menghilangkan kekuasaan raja adalah dengan membunuh dan merebut wahyu yang dimilikinya. Upaya merebut kekuasaan ini membuat suksesi kepemimpinan sering disertai pertumpahan darah.

Ketika Islam mulai masuk ke kepulauan Nusantara, konsep devaraja semacam tadi ditinggalkan. Islam menghadirkan konsep raja sebagai wakil Tuhan yang mengelola dunia dan menciptakan lembaga baru untuk membatasi absolutismenya. Lembaga pembatas ini disebut sebagai kadi atau kita kenal sebagai hakim. Pada kasus kesultanan Aceh, para kadi yang disebut sebagai Khadi Malikul Adil berperan penting dalam menentukan suksesi. Sekalipun memiliki kekuasaan yang besar, kadi-kadi juga memiliki keterbatasan. 

Tindakan mereka harus dilegitimasi oleh dasar tekstual kitab suci. Para kadi tidak dapat bertindak atau mengambil keputusan yang bertentangan dengan kitab suci. Keputusan para kadi di Aceh pada abad ke-17 hingga 20 didasarkan secara ketat pada Alquran, Sunah, Ijmak, dan Kias. Dengan demikian, kadi juga tidak dapat dengan mudah dijadikan alat kekuasaan bila seorang penguasa bertindak bertentangan dengan empat dasar keputusan tadi.

Ketika kekuasaan Sultan Iskandar Muda berakhir saat kematiannya, kursi penerus kesultanan kosong. Para kadi kemudian memutuskan untuk mengangkat menantunya yang diberi gelar Sultan Iskandar Thani.

Kekuasaan sultan tidak berlangsung lama dan berakhir saat kematiannya tahun 1641 di usia muda. Pada titik ini, kursi penerus benar-benar kosong. Untuk mengatasi kekosongan ini, para ulama dan kadi kemudian menelusuri kembali syarat-syarat yang dapat menjadikan seseorang sebagai penguasa. 

Pada akhirnya, Nurrudin ar-Ranniry dan para bangsawan atau orangkaya memutuskan untuk mengangkat janda sultan yang juga merupakan putri Sultan Iskandar Muda, yaitu Sultanah Tajul Alam. Sultanah Tajul Alam telah berjasa dalam melindungi para ulama --termasuk Nurrudin ar-Ranniry, yang diusir dari Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. 

Untuk mempertahankan argumen bahwa seorang penguasa wanita diizinkan dalam ketentuan Islam, Nurrudin ar-Ranniry yang menjabat sebagai kadi menelusuri berbagai macam dasar agama dan pada akhirnya menyatakan bahwa seorang wanita dapat saja menjadi sultan asalkan memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan. Lima puluh tahun kemudian, para ulama di Arab Saudi mengirimkan surat yang membatalkan ketentuan Nurrudin ar-Ranniry dan menyatakan bahwa penguasa wanita tidak dibenarkan menurut pemahaman mereka.

Dari episode suksesi kesultanan Aceh ini, jelas sekali bahwa seorang kadi mengambil peran yang sangat besar dalam percaturan kekuasaan di Sumatra. Berbeda dengan kasus itu, golongan yang ambil peran besar dalam penentuan kekuasaan di Jawa adalah golongan tukang besi atau pandai besi. Perbedaan ini berkaitan pula dengan perbedaan keadaan geografis yang melingkupi Jawa dan Sumatra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun