Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Mental Pajak dan Utang Nusantara

20 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 24 April 2022   23:10 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Schip in de baai van Ambon (KITLV, 1910)

Lebih lagi, kewajiban membayar adalah suatu hal yang sakral di antara masyarakat Nusantara masa klasik. Suatu perjanjian utang antara dua orang selalu dipenuhi oleh berbagai macam sumpah yang berisi kutukan bagi orang yang tidak membayar utang-utangnya menurut perjanjian. 

Perjanjian semacam ini bahkan dituliskan dalam prasasti yang berjenis suddhapatra. Melalui kenyataan ini, jelas sekali bahwa beban kewajiban untuk membayar utang bermakna sangat penting di kalangan masyarakat. Bercermin dari hal itu, dapat pula diartikan bahwa kewajiban untuk membayar pajak kepada negara juga menunjukkan kesetiaan bayar yang sama.

Para pelaut Prancis yang mencapai Nusantara pada abad ke-17 juga mencatat bahwa golongan pedagang Melayu menjunjung tinggi kejujuran dalam berdagang. Para pedagang Melayu tidak menggunakan surat perjanjian transaksi dan percaya begitu saja pada para pembelinya. 

Hal yang lebih mengajaibkan bagi para pelaut Prancis adalah keterlibatan penguasa-penguasa negeri dalam perdagangan dengan disertai mental dan perilaku yang sama seperti orang-orang pada umumnya. Para penguasa ini disebut sebagai raja-raja pedagang oleh para sarjana ahli Asia Tenggara. 

Setelah melakukan pengamatan yang seksama, para pelaut Prancis itu sadar bahwa hal ini disebabkan oleh kesetiaan bayar utang dan kejujuran yang tinggi di negeri-negeri bawah angin ini.

Setelah para pedagang Eropa bergabung dalam konstelasi perdagangan Asia Tenggara, transaksi tanpa perjanjian itu mulai mengkhawatirkan mereka. Dengan demikian, mereka mengenalkan sistem perjanjian yang telah dikenal di Eropa. 

Masyarakat Asia Tenggara sesungguhnya juga mengenal sistem perjanjian menurut ukuran mereka dan biasanya dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun hal ini tidak umum dilakukan karena perdagangan regional jarang mengalami masalah utang-utang yang tak terbayar.

Mental pembayaran utang dan pajak yang demikian tadi terus dipertahankan hingga masa kolonial. Pada permulaan abad ke-19, Hindia Belanda menikmati kesuksesan cultuurstelsel atau sistem penanaman yang bermuara pada penyerahan wajib karena mental pembayaran pajak masyarakat Jawa. 

Tanpa mental pajak yang penuh kesetiaan tadi, Hindia Belanda tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan yang luar biasa. Masyarakat Jawa terus terikat pada pemikiran bahwa pajak adalah suatu beban kewajiban bayar yang penting dan sakral. 

Oleh sebab itu, masyarakat terus memenuhi tuntutan penyerahan wajib selama mereka dapat memenuhi kebutuhan kalori mereka yang paling minimum. Bertolak dari kenyataan ini, kita dapat menambahkan faktor mentalitas masyarakat yang setia membayar pajak pada deretan panjang faktor kesuksesan cultuurstelsel. 

Tidak saja di Jawa, saat Hindia Belanda menaikkan pajak produksi komoditas karet tahun 1936, masyarakat penghasil karet di Sumatra Timur tetap melakukan produksi seperti biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun