Mohon tunggu...
Reina Hilmina
Reina Hilmina Mohon Tunggu... -

Menulis dan bertanyalah karena itu tanda kita berpikir

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Mental Baru di Mulai...yang Kalah Harus dibantu?

10 Juli 2014   20:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:44 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 9 Juli 2014 yang sudah usai setelah serangkaian pilpres paling barbar ini, menyisakan banyak PR bagi rakyat Indonesia. Seperti biasa banyak lembaga survey yang melakukan quick count. Dan pernyataan bersyukur atas kemenangan versi quick count oleh kubu Jokowi ditanggapi secara berlebihan oleh kubu Prabowo yang nampak sekali gagap dengan kenyataan yang ada. Sebagai kubu yang lebih "bermodal" dan didukung oleh kalangan menengah atas dan orang tua (yang rindu masa lalu) serta 48 % suara partai koalisi, membuat kubu Prabowo tidak siap dengan esensi suatu pertandingan yang ada kalah dan menang. Alih-alih memberikan respon positif untuk  hasil lembaga survey independen yang semakin akurat, kejumawaan telah membawa kubu Prabowo ke "Sikap TIDAK SIAP KALAH" yang akan membawa banyak persoalan yang harus diselesaikan kemudianoleh bangsa Indonesia. Tepatlah kirannya slogan revolusi mental didengungkan dan diimplementasikan mulai terutama dari kubu Pilpres yang kalah ini.

Beberapa terapi berikut dapat dijalankan untuk kubu Klan Prabowo agar terjadi revolusi mental pada diri mereka dan kembali bersatu dengan keinginan sebagian rakyat Indonesia yang segera ingin berubah setelah lebih 15 tahun reformasi...

Prabowo, walaupun dengan segala track record kecerdasan dan kemampuan bahasa asing yang baik. Respon terhadap hasil quick count membuka "siapa" dirinya. Sikap Jumawa karena didukung 48 % partai koalisi Garuda Merah(lebih 10 % dari partai pengusung Jokowi) dan sikap tidak "down to earth" para pendukungnya semakin membuat dia tidak siap dengan informasi kekalahan. Bukannya bersikap elegan untuk mendapatkan simpati dan melakukan persuasi, semua informasi dari Media  yang memberitakan kekalahan membuatnya panik dan berusaha menyerang balik bahkan mengancam satu-persatu para pemilik media tersebut. Kemudian Prabowo juga mencari-cari kambing hitam dengan mengungkit masalah batu tulis (http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/09/269591847/Prabowo-Marah-Ungkit-Lagi-Perjanjian-Batu-Tulis).Yang lebih menyedihkan lagi,Prabowo melakukan sujud syukur dan menyampaikan pidato kemenangan (http://www.youtube.com/watch?v=nqm8Ub8wCZ0 & http://www.youtube.com/watch?v=VtNzau13Q2E) diiringi tepuk tangan ala pendukung Seoharto di era kejatuhannya. Tentu saja sebagai pucuk dari kubu Prabowo, perilaku prabowo akan mempengaruhi pendukungnya dan perlu yang paling awal dilakukan revolusi mental. Caranya adalah Prabowo  banyak diaktifkan untuk membawa organisasi olahraga yang banyak bertanding ke luar negeri seperti bulu tangkis sehingga paham menghargai lawan dan siap menerima kekalahan.

Mahfud MD, sebagai seorang yang "ditemukan" oleh Gus Dur untuk menjadi tokoh nasional sebenarnya memiliki karir baik-baik saja sampai dia memutuskan untuk melawan "akal sehat" karena sakit hati seperti yang dia sampaikan di suatu debat Mata Najwa di Metro TV (http://www.youtube.com/watch?v=BBpsxos8Cs0)..karena sudah terlanjur basah dan sakit hati, Mahfud MD yang memiliki track record yang baik  nampaknya harus mengakhiri karir politiknya sebagai pencundang karena menuruti rasa sakit hatinya terhadap PKB Muhaimin. Sampai-sampai dia salah menyebutkan adanya "cyber war" (harusnya psy war seperti yang disampaikan Sandiaga Uno) yang dilakukan oleh kubu Jokowi dengan pengumuman kemenangan versi "Quick Count".  Cara yang dapat dilakukan untuk revolusi mental Mahfud MD adalah dengan banyak mengaktifkannya ke pengajian kampung dimana tidak ada keinginan untuk "show off" dan "minta imbalan" dan belajar ke kiai kampung tentang keikhlasan menerima cobaan dan kekalahan.

Aburizal Bakri, salah satu tokoh yang menggunakan politik sebagai ajang memperkuat bisnisnya dan sebaliknya merupakan tokoh yang paling tidak jelas karakternya. Yang jelas hanya menurutnya semua berkaitan dengan uang dan sesuai filosofinya bahwa " Dunia itu adalah sebuah Gambling (Perjudian)". Setelah hilir mudik ke kubu Jokowi dan Prabowo, akhirnya dengan pertimbangan banyak "bandar" di kubu Prabowo, Ical mantap (walau kubunya banyak yang tidak setuju) menaruh kartu di kubu Prabowo. Syok, dengan informasi kekalahan, Icalpun membuat berita tandingan (seperti juga pada kasus Lapindo) seolah-olah survey Prabowo menang. Melalui kaki tangannya pula, Ical siapkan mimbar pidato dan sujud kemenangan prabowo. Tampak sekali Ical ceria bertepuk tangan seperti mendapat hadiah "boneka Teddy Bear" pada pesta tersebut. Agak susah melakukan terapi pada seorang "penjudi" ala Ical, terpaksa kita harus minta bantuan KPK untuk memiskinkan Ical dan keluarga agar tidak punya "dana" lagi untuk menjalankan aktivitasnya.

Fahri Hamzah, bukan tokoh nasional namun terkenal karena "bacot-nya dan kesintingannya", sejak dulu terkenal teriak-teriak tanpa ada isi sehingga seringkali membuat awam dapat kehilangan esensi suatu permasalahan. Fahri sangat tepat untuk diterapi mental di kalangan orang samin dimana dia dapat memuaskan ngomong tanpa mikirnya sampai dia benar-benar sadar untuk belajar ngomong setelah mikir.

Suryadharma Ali, seorang yang mantan menteri Agama yang sudah melupakan hal-hal baik yang dikuasainya (konon beliau hafal Al Qur'an).  Sebagai corong setia kubu Prabowo dari awal dan kebetulan punya pengetahuan agama, SDA harusnya bertanggung jawab mengarahkan Prabowo untuk lebih berakhlakul karimah. Namun sebaliknya justru SDA-lah yang terseret dengan praktek penghalalan segala cara untuk mendapatkan modal politik sehingga tertangkap KPK. Terapi revolusi mental yang tepat untuk SDA ya dengan cara ditempatkan di Nusa Kambangan untuk mengajar ngaji para narapidana untuk jangka waktu yang cukup lama.

Amien Rais, tokoh yang beruntung pernah jadi ketua Muhammadiyah dengan segala "pengetahuan agama" yang terbatas ini awalnya hanyalah "tukang penerjemah" jika ada acara tamu luar negeri di kalangan mahasiswa. Kemudian dengan modal sering ketemu mahasiswa dan sedikit pengetahuan politik ala Machiaveli serta sedikit keberuntungan karena berani teriak disaat yag tepat muncullah AR seolah-olah sebagai tokoh reformasi. Waktu jualah yang membuat dia kadaluarsa karena tidak memiliki karakter kenegarawan yang permanen. Setelah dipencundangi Jokowi 2 x di pemilihan walikota dan Gubernur, rasa ingin melampiaskan sakit hatinya membuat AR mendukung Prabowo (setelah gagal membuat poros Indonesia Raya dengan partai2 & Ormas Islam) yang seharusnya berseberangan saat reformasi.  Walaupun sudah kadaluarsa dan relatif uzur, AR dapat dilakukan terapi mental dengan menjadi juru pijat Buya Syafii Maarif agar mendapatkan wejangan setiap saat mengenai bagaimana menjalan prinsip "muhammadiyah" secara benar dan kaffah.

Ya. sebaiknya para tokoh itu segera berevolusi mental agar diikuti oleh anak buahnya agar tidak ketinggalan Reformasi Jilid II yang diinginkan rakyat Indonesia saat ini...Ya ...Revolusi mental baru dimulai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun