Mohon tunggu...
Reihan Zulkarnaen
Reihan Zulkarnaen Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

ENTJ-T

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Merasa Engap Setelah Sembuh COVID-19? Simak Penjelasannya!

22 Desember 2022   22:14 Diperbarui: 22 Desember 2022   22:22 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi engap. Sumber: unsplash.com

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 yang menyerang sistem pernapasan. Pertama kali muncul di Kota Wuhan, China pada bulan Desember 2019, kasus COVID-19 di seluruh dunia sudah menembus angka 600 juta dengan angka kematian sebanyak 6,6 juta kasus per tahun 2022. Para peneliti, dokter dan pemerintah telah menghimbau bahwa infeksi COVID-19 berdampak sangat serius pada kesehatan tubuh, terutama pada sistem pernapasan. Tidak hanya berdampak saat infeksi, COVID-19 juga masih memberikan efek tidak mengenakan bahkan setelah seseorang sembuh dari infeksi tersebut.

Menurut beberapa pakar ahli dari School of Medicine, Yale University, banyak pasien COVID-19 mengalami gejala yang berkelanjutan setelah infeksi. Gejala tidak terbatas pada mereka yang memerlukan rawat inap atau masuk ICU dan umumnya terjadi pada mereka yang memiliki riwayat COVID-19 ringan. Biasanya, pasien-pasien tetap memiliki temuan normal pada berbagai uji diagnostik, seperti tes fungsi paru-paru, rontgen dada atau CT scan. Kebanyakan mereka mengeluhkan rasa sesak di dada atau dalam istilah sehari-hari kita dikenal sebagai engap. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Penurunan Kapasitas Paru

Penelitian di Italia pada tahun 2021, yang melibatkan 379 pasien pengidap COVID-19, menemukan bahwa setelah sembuh dari COVID-19, seseorang akan mengalami penurunan kapasitas paru-paru yang mana akan mengganggu aktivitas hariannya. Penurunan tersebut diakibatkan oleh kondisi inflamasi atau peradangan yang terjadi pada paru-paru seseorang ketika sedang mengidap COVID-19. Virus SARS-Cov-2 dapat menginfeksi sel yang berada di rongga hidung, sel otot jantung (kardiosit), sel endotel, bagian testis, hingga saluran empedu. Virus yang menyerang tubuh nantinya akan menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut yang mana merupakan gangguan pengangkutan oksigen. Gangguan tersebut berupa tekanan parsial oksigen arteri tau PaO2 terhadap konsentrasi oksigen saat menghirup nafas hanya sebesar 300 mmHg atau kurang.

Pasca infeksi awal, kebanyakan pasien pengidap COVID-19 didiagnosis menderita hipoksia yang mana merupakan kondisi kekurangan asupan oksigen. Kondisi tersebut mengganggu mekanisme pengiriman oksigen dan gangguannya akan meningkat seiring meningkatnya keparahan COVID-19. Secara spesifik SARS-CoV-2, mengganggu persinyalan sel pada paru-paru sehingga berkurangnya sensitivitas, kapasitas difusi berkurang dan hilangnya mekanisme penyempitan jaringan di paru-paru yang menyebabkan edema.

Seiring berkembangnya penyakit, sel-sel pada paru mengeluarkan sinyal yang menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Pada kondisi tersebut, paru-paru akan rentan terhadap kebocoran pembuluh darah, angioedema dan penggumpalan cairan (edema). Akibatnya, edema paru mengisi ruang alveolar, diikuti oleh pembentukan membran hialin, sesuai dengan sindrom gangguan pernapasan akut fase awal. 

Pembentukan membran hialin akan membuat paru-paru seseorang mengalami fibrosis atau pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Fibrosis paru-paru ditandai dengan penurunan fungsi paru-paru dan gagal napas, berkorelasi dengan prognosis buruk dan bersifat ireversibel. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan, sekitar 50% pengidap COVID-19 parah yang telah mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan akut, fibrosis paru merupakan komplikasi terbesarnya. Jika dilakukan CT scan dada, perkembangan dari fibrosis, yaitu kekeruhan ground glass, ditunjukkan oleh pasien pada 10-11 hari dari gejala awal timbul bahkan hasil juga menunjukkan adanya perkembangan fibrosis yang tidak teratur.

Pasca terkena COVID-19 atau di dalam masa pemulihan, mereka yang terkena dampak parah dan mengalami peningkatan reaksi inflamasi atau peradangan, kemungkinan besar masih akan mengalami fibrosis paru. Nantinya, penderita COVID-19 akan mengalami peningkatan dorongan pernapasan karena kebutuhan oksigen yang meningkat namun kemampuan paru-paru untuk melakukan hal tersebut telah terganggu. Dengan begitu, para pengidap COVID-19 akan merasa engap atau sesak nafas bahkan setelah mereka sembuh dari COVID-19.

Kapasitas Paru yang Terganggu

Peradangan paru yang terjadi terus-menerus akan mengganggu serta mengurangi kemampuan paru-paru seseorang, mulai dari penurunan kapasitas FVC (forced vital capacity), kapasitas difusi CO (karbon monoksida), kapasitas paru total, hingga kemampuan jarak jalan 6 menit (6-min walk distance). Kapasitas apa sajakah itu?

  • Kapasitas FVC

    Volume udara yang dapat dihembuskan seseorang selama napas paksa dalam waktu tertentu.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Healthy Selengkapnya
    Lihat Healthy Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun