Mohon tunggu...
Reihana Kamila Alfanny
Reihana Kamila Alfanny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Administration Student

Gemar merangkai kata sejak mengenal buku harian, menyukai musik bergenre pop balada dan begitu antusias terhadap hujan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemeran Utama

28 Maret 2023   16:08 Diperbarui: 28 Maret 2023   16:09 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit kala itu sendu, warnanya gelap termakan kelam. Angin memeluk tubuh erat, menerpa setiap ruang kosong yang telah lama tak berpenghuni. Mata kita tidak bertemu, ada dinding kokoh yang menjulang tinggi diantara aku dan kamu. Sorot netra yang dulu begitu teduh menyejukkan isi hati  kini menggelap beralih sendu.

Kamu datang menanyakan rela, aku diam membisu sebagai jawabannya. Kamu menghela nafasmu dengan berat, seakan apa yang menerpamu begitu memporak-porandakan isi kepala dan merisaukan ruang hati.

"Bisakah kita hentikan semua ini?" tanyaku, kini kamu menatapku dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya, ada secuil sendu yang bersembunyi diretina matamu.

Kamu menggeleng kepalamu kaku, berkata bahwa semesta belum menyetujuinya. Padahal kata kita sudah lama usai. Mengapa rasa semacam ini membelenggu aku dan kamu?

"La, sepertinya kita harus menjaga jarak mulai saat ini" suaranya keluar terdengar parau di telingaku.

"Aku tau kita masih mempunyai rasa yang sama, semesta agaknya belum kunjung menghilangkannya. Tapi kita sudah usai, kita harus mulai berjalan dilangkah yang berbeda" tambahnya, aku menganggukan kepala. Walau tentu saja sesuatu bernama rela di dalam diri meraung menolaknya, tetapi logika lebih dominan.

"Terimakasih Juan untuk selama ini" Ujarku, ia tersenyum kaku.

"Terimakasih juga Laila, maafkan aku yang sempat menggoreskan luka" Ujarnya

Langkahku dengannya kini benar-benar mengambil arah yang berbeda, sejenak aku menolehkan kepala memandang punggungnya yang semakin jauh dari jangkauan lalu kembali melangkah di jalanku. Mungkin Tuhan menakdirkan Juan hanya sebatas singgah dibuku kisah kehidupanku, bukan untuk menjadi pemeran utama mendampingiku. Tapi pada akhirnya aku tau alasan mengapa mawar merah belum kunjung tumbuh di sudut ruang itu. Mungkin saja memang semesta memberi waktu untuk merenungkan isi kepala, atau sejenak rehat menyembuhkan apa yang terluka.

***

Tiga tahun kemudian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun