Mohon tunggu...
Reidnash Heesa
Reidnash Heesa Mohon Tunggu... Insinyur - Mohon Tunggu....

Penjelajah | Penikmat Sajak | Pecinta Rembulan | Pejalan Kaki

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Duta AIDS 2015 Ini Gagal Paham Profesi Ibu Rumah Tangga?

1 Desember 2015   14:15 Diperbarui: 1 Desember 2015   15:18 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari HIV/AIDS Se-dunia, kembali diperingati pada tanggal 01 Desember 2015. Melihat kumpulan fakta dan berita yang tersaji di media massa, hati siapa yang tak terenyuh ketika melihat jumlah penderita HIV di berbagai tempat masih tinggi angkanya dan sebagian besar didominasi oleh kalangan ibu rumah tangga. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, jumlah angka untuk kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga memang cukup banyak. Bahkan berada di peringkat pertama, jika dilihat berdasarkan kelompok profesi, di luar kategori 'tidak diketahui' dan 'lain-lain'.

Sejak tahun 1987 hingga 2015, angka tersebut berada pada angka 9.096 kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu rumah tangga seperti yang dituturkan oleh seorang penggiat sosial dengan inisial GS, dengan status ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan juga salah satu aktivis dari LSM Yayasan Spritia dalam acara jumpa pers menyambut Hari HIV/AIDS Se-dunia di Gedung Kementerian Kesehatan, Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan Senin (30/11). Menurut kesimpulan yang dipaparkan, pemerintah dianggap belum menjangkau program kepada kelompok mereka sehingga banyak ibu rumah tangga yang merasa masih dipinggirkan dalam program prioritas penanggulangan HIV. 

Banyak penyebab yang menjadikan profesi ibu rumah tangga sebagai sebuah profesi yang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang di zaman modern ini. Hal itu juga diakui oleh seorang duta HIV/AIDS 2015 saat menghadiri konferensi pers rangkaian Hari HIV/AIDS Se-dunia beberapa waktu yang lalu. Tanpa perlu menyebutkan nama lengkapnya, duta HIV/AIDS 2015 yang juga berprofesi sebagai seorang penyanyi terkenal dengan inisial VA berbicara blak-blakan soal kriteria wanita idaman pendamping hidupnya kelak. “Bukan seseorang yang nanti hanya menjadi ibu rumah tangga saja,” katanya seperti yang dilaporkan oleh Tribunnews. Menurut dia, perempuan dengan keinginan seperti itu hanya bersifat pasif, tidak memiliki visi dan cita-cita untuk berprestasi besar. 

Media sosial Facebook juga sedang ramai-ramainya berbagi informasi, diperoleh dari forum diskusi yang mendebatkan topik hangat, dengan memunculkan sebuah pertanyaan sederhana, mengapa lelaki betah hidup melajang? Tidak disangka, tidak pula diduga, masih ada pemikiran bahwa perempuan zaman sekarang susah untuk di-ajak 'susah'. Yang dianggap 'susah' itu adalah hidup berumah tangga dimana sang istri harus mengurus segala urusan rumah tangga mulai dari memasak, membersihkan rumah, mengurus anak dan sebagainya. Bahkan pemikiran seperti ini masih dianggap wajar-wajar saja oleh sebagian masyarakat Indonesia yang berpandangan budaya patriarki. 

Setiap keluarga memiliki hak untuk memilih yang terbaik bagi hidup dan masa depan sang ibu. Ada banyak contoh yang sudah pernah ditulis dan tidak perlu dipaparkan ulang mengapa seorang ibu akhirnya memutuskan untuk memilih jalur ber-karier di luar rumah dan mengapa pula seorang ibu memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, mengabdikan seluruh tenaga, pikiran, daya, waktu dan hidupnya untuk mengurus rumah, membesarkan, mendidik anak-anaknya. Banggalah menjadi seorang ibu rumah tangga sebagaimana kebanggaan itu dimiliki oleh kaum ibu yang memiliki karier di puncak tertinggi baik dalam pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. 

Bangga menjadi pendamping penuh waktu (full timer) 

Mendampingi kehidupan anak-anak mulai sejak lahir sampai mereka menjadi dewasa sendiri merupakan pengalaman menarik yang dialami oleh kaum ibu rumah tangga yang memiliki akses waktu tidak terbatas, hidup bersama dengan anak-anaknya di rumah dua puluh empat jam sehari. Seorang ibu rumah tangga paham betul dengan seluk beluk yang men-detail terkait perubahan fisik sehubungan dengan masa tumbuh kembang sang anak sejak usia batita, balita, dst. Selain fisik, perubahan emosional/psikis terlebih saat sang anak sudah memasuki usia remaja juga tidak pernah luput dari perhatian sang ibu. 

Pendampingan secara langsung dan berkelanjutan sampai sang anak dewasa apakah masih layak dianggap sebagai sebuah pekerjaan pasif, minus prestasi dan cita-cita? 

Bangga menjadi pendidik bergelar sarjana 

Beberapa komentar yang masih sering diucapkan sang ayah dalam sebuah keluarga dengan budaya patriarki golongan kaku, komentar-komentar yang mengharamkan pendidikan tinggi bagi anak perempuan yang notabene katanya perempuan dewasa tidak jauh-jauh dari urusan sumur, kasur dan dapur. Padahal tujuan akhir sebuah pendidikan adalah untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bukan untuk kepentingan diri sang anak semata-mata. Seorang ibu rumah tangga yang bergelar sarjana pasti berbeda pola pengasuhannya dengan seorang ibu yang bukan sarjana. Ada yang mengiyakan, sebagian pula menyayangkan gelar sarjana dipergunakan hanya untuk urusan sumur, dapur dan kasur. 

Bukankah sebuah prestasi yang membanggakan memilih menjadi ibu rumah tangga bergelar sarjana sekaligus pendidik bagi putra-putrinya? Masihkah ada anggapan bahwa gelar sarjana hanya sebagai sarana untuk mendongkrak status sosial keluarga sehingga semarak praktek jual beli gelar pendidikan masih menjadi lahan subur untuk memburu rupiah di negeri ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun