Pasti di antara kita pernah mendengar kata-kata “racun tiktok” atau “racun olshop”. Terlebih bagi para pengguna setia aplikasi tiktok, kata kata tersebut tentu sudah tidak asing lagi.
Konten tersebut meraup ribuan bahkan jutaan penonton yang menurut analisis, sebagian besar penontonnya merupakan anak anak remaja dibawah 17 tahun.
Tren seperti itu akan menjadi bibit tumbuhnya sebuah penyimpangan sosial berupa gaya hidup yang negatif bagi penerus bangsa kita apabila tidak ditanggapi dengan tegas.
Bahkan menurut riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kepercayaan diri konsumerisme paling tinggi.
Penyimpangan gaya hidup berupa konsumerisme balik lagi terjadi akibat sosialisasi primer yang tidak sempurna.
Biasanya para orang tua membiarkan, memanjakan, serta memberi kebebasan kepada anaknya untuk membeli barang barang yang diinginkannya meski tidak membutuhkannya.
Sifat FOMO (Fear Of Missing Out) diikuti dengan sifat gengsi dari remaja Indonesia juga merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat konsumerisme di Indonesia.
Memangnya apa sih dampak dari sikap ini jika dilihat dari sudut pandang masyarakat? Berdasarkan sdgsummit.id, sifat konsumerisme dapat menyebabkan diskriminasi antar anggota masyarakat, kesenjangan sosial, bahkan meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia.
Bahkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pun berpendapat bahwa maraknya sikap konsumerisme ini menyebabkan banyak orang meninggalkan kebiasaan menabung.
Lantas, tindakan apa yang bisa kita ambil untuk menanggapi kasus tersebut? Sekali lagi saya tekankan bahwa, peran orang tua sangatlah penting dalam membentuk kebiasaan dan karakter anaknya.
Terlebih apabila mereka masih dalam fase remaja. Dimana seorang remaja biasanya masih “labil” , dan itu wajar adanya.