Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Banyak Perempuan Belum Merdeka

4 April 2021   10:31 Diperbarui: 4 April 2021   11:05 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ibu dan anak di NTT (daunlontar.blogspot.com)

"Habis gelap terbitlah terang." Kartini menulis untuk membela hak - hak perempuan ketika perempuan diperlakukan tidak adil karena dikekang oleh adat istiadat yang kaku dan otoritas laki - laki  yang terlalu dimuliakan. Kartini berjuang membebaskan kaumnya dari kungkungan kegelapan agar perempuan dapat melihat jalan untuk menggapai tujuan dan cita-citanya sendiri. Menurutnya perempuan harus berpendidikan karena dengan begitu mereka tidak dipaksa kawin dengan orang yang tidak mereka sukai dan tidak merasa wajib takluk pada suami.

Kartini juga menulis," Jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mengurus anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya." Hal ini dia lakukan semata - mata untuk menyamakan hak antara laki - laki dan perempuan terutama dalam hal pendidikan. Sebab laki - laki maupun perempuan diciptakan Tuhan sebagai manusia yang sama dan tanpa pembedaan kelas.

Setelah kurang lebih 120-an tahun lalu berjuang, apa yang dilakukan Kartini sangatlah besar pengaruhnya pada kebangkitan perempuan di masa kini. Ide - ide besarnya mampu menggerakkan dan mengilhami perempuan - perempuan di Indonesia untuk berjuang keluar dari belenggu diskriminasi yang mereka alami sehingga sekarang kita bisa melihat sekolah dan perguruan - perguruan tinggi penuh warna laki - laki dan perempuan. Padahal sebelumnya perempuan dibatasi aksesnya untuk mengenyam pendidikan.

Walaupun demikian kita tidak bisa memungkiri bahwa belum semua perempuan sadar mereka mempunyai hak yang sama dengan laki - laki. Masih banyak perempuan yang merasa mereka adalah manusia kelas dua yang mempunyai level setingkat di bawah laki - laki. Mereka memilih berada di dapur mengurusi perut, berada di ranjang mengurusi suami dan memilih di belakang ketika para lelaki berpendapat, berdebat dan berpolitik.

Di Nusa Tenggara Timur ( NTT), khususnya di Kabupaten Belu, kita akan dengan mudah bertemu dengan ibu - ibu yang buta huruf atau yang tidak sekolah sama sekali. Mereka adalah ibu - ibu rumah tangga yang sibuk mengurusi anak - anak dan aktivitas rumah tangga lainnya. Kita juga gampang menemukan  ibu - ibu yang hanya mengenal angka dan uang. Mereka adalah ibu - ibu yang setiap hari berjuang dengan barang dagangannya atau hasil tenunannya di pasar.

Kita juga akan sering menemukan ibu - ibu muda berusia belasan tahun yang mengantri di posyandu - posyandu mengantri untuk menimbang dan memeriksa kesehatan anak-anaknya. Mereka adalah anak - anak perempuan yang putus sekolah karena berbagai alasan.

Semua kenyataan ini masih kita saksikan saat ini di masa di mana hak asasi manusia (HAM) digaungkan dengan kencang di seluruh dunia. Melihat kenyataan ini saya menemukan  2 faktor utama yang menyebabkan perempuan di NTT terlambat menyadari kesamaan hak mereka dengan laki - laki.

1. Akses pendidikan yang tidak merata

Data survei ekonomi nasional tahun 2016 mencatat hanya sekitar 70,32 persen perempuan berusia 10 tahun ke atas yang pernah mengikuti jenjang pendidikan dasar (SD). Lalu perempuan yang berhasil tamat SD hanya sebesar  37, 58 persen. Sedangkan perempuan yang putus sekolah dengan berbagai kendala dan hambatan sebesar 32, 74 persen. Selain itu perempuan yang berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih lanjut menurun presentasinya terus - menerus.

Hal ini terjadi karena perempuan di NTT kurang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat menengah dan perguruan tinggi. Sebab banyak orang tua di NTT yang merasa cukup ketika anaknya sudah bisa baca, tulis dan menghafal doa - doa sebagai syarat untuk menerima Komuni Pertama.

Akibatnya mereka terpaksa menikah dini, mengurusi rumah tangganya, bekerja serabutan atau bekerja pada sektor primer ( pertanian) dan merantau ke Kalimantan atau Malaysia sebagai TKW. Karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai.

2. Budaya Patriarki

Budaya patriarki merupakan budaya yang sangat menghambat upaya perempuan keluar dari dominasi laki - laki. Budaya ini menempatkan laki - laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Di NTT, budaya patriarki menancapkan akarnya sangat dalam sehingga sampai sekarang budaya ini masih eksis dan bertahan dalam realitas kehidupan masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika kita masih melihat perempuan NTT menempatkan dirinya sebagai manusia kelas dua sekalipun pendidikan sudah tinggi. Akibatnya muncul adagium yang terkenal "untuk apa sekolah tinggi kalau ujung - ujungnya masuk di dapur."

Mengapa demikian? Di NTT, jika perempuan lebih mendominasi suaminya maka secara adat, ia akan dinilai tidak sopan, kurang ajar atau dianggap tidak tahu adat. Atas dasar itu, suaminya bisa bertindak keras dan timbullah KDRT di dalam rumah yang juga dianggap wajar.

Dua cengkeraman kendala ini juga dahulu dilawan oleh Kartini. Dengan kegigihan dan semangat juang yang tak pantang menyerah, ia berhasil menyalakan terang di tengah kegelapan perspektif perempuan tentang dirinya. Hal inilah yang mesti dilakukan oleh perempuan - perempuan NTT agar bisa setara dengan laki - laki. Tidak hanya duduk dan merenungi nasib yang malang.

Perjuangan - perjuangan luhur yang telah dimulai oleh Kartini harus segera disebarluaskan, dipahami, diimplementasikan oleh berbagai elemen masyarakat di NTT. Jika hanya menunggu laki - laki sadar lalu mengurangi dominasi mereka, maka kita harus menunggu sampai lebaran kuda, baru terjadi persamaan hak antara laki - laki dan perempuan.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun