Budaya patriarki merupakan budaya yang sangat menghambat upaya perempuan keluar dari dominasi laki - laki. Budaya ini menempatkan laki - laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Di NTT, budaya patriarki menancapkan akarnya sangat dalam sehingga sampai sekarang budaya ini masih eksis dan bertahan dalam realitas kehidupan masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika kita masih melihat perempuan NTT menempatkan dirinya sebagai manusia kelas dua sekalipun pendidikan sudah tinggi. Akibatnya muncul adagium yang terkenal "untuk apa sekolah tinggi kalau ujung - ujungnya masuk di dapur."
Mengapa demikian? Di NTT, jika perempuan lebih mendominasi suaminya maka secara adat, ia akan dinilai tidak sopan, kurang ajar atau dianggap tidak tahu adat. Atas dasar itu, suaminya bisa bertindak keras dan timbullah KDRT di dalam rumah yang juga dianggap wajar.
Dua cengkeraman kendala ini juga dahulu dilawan oleh Kartini. Dengan kegigihan dan semangat juang yang tak pantang menyerah, ia berhasil menyalakan terang di tengah kegelapan perspektif perempuan tentang dirinya. Hal inilah yang mesti dilakukan oleh perempuan - perempuan NTT agar bisa setara dengan laki - laki. Tidak hanya duduk dan merenungi nasib yang malang.
Perjuangan - perjuangan luhur yang telah dimulai oleh Kartini harus segera disebarluaskan, dipahami, diimplementasikan oleh berbagai elemen masyarakat di NTT. Jika hanya menunggu laki - laki sadar lalu mengurangi dominasi mereka, maka kita harus menunggu sampai lebaran kuda, baru terjadi persamaan hak antara laki - laki dan perempuan.
Salam