Hari Pertama di Manado
       "Selamat Datang di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado." Terdengar suara halus pramugari dari pengeras suara pesawat. Saya dan 63 teman Orang Muda Katolik (OMK) dari Keuskupan Atambua peserta Indonesia Youth Day (IYD) 2016, pada akhir September tiga tahun yang lalu, tampak sumringah. Kami saling menatap menunjukkan ekspresi bahagia bercampur haru. Setelah  menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dari Atambua, akhirnya kami tiba dengan selamat. Â
      Kami tiba di kota berjulukan Kota Tinutuan itu pada pukul 21.00 WITA. Di dalam bandara ratusan OMK Keuskupan Manado sudah menunggu kami. Mereka mengibarkan bendera merah putih dan kuning putih serta melantunkan lagu -- lagu daerah menggunakan alat musik tradisional mereka, Kulintang. Kami sangat bahagia melihat sambutan luar biasa itu.
      Sambutan itu bukan hanya untuk kami tetapi juga rombongan orang muda katolik dari keuskupan lain. Karena saking banyaknya orang kami sempat kebingungan, beruntung ada beberapa OMK berpakaian hitam mendekati kami sambil membawa papan bertuliskan keuskupan Atambua. Rupanya mereka ditugaskan untuk menjemput kami. Kami lantas berkenalan dengan mereka. Mereka adalah OMK Sta. Rosa Delima Tondano.
       Saat sedang asyik -- asyiknya berkenalan seorang teman memekikan yel -- yel: "Oras loro, Oras loro". Dengan spontan kami menjawab "Ma-li-rin" sambil membagi suara laiknya sebuah paduan suara. Kemudian kami serentak berseru: "Rai Loro Malirin...Itu Kami. Rai Malaka...itu kami, He'e. Pah Biinmafo...Itu kami, Palate." Semua orang yang ada di dalam bandara menyaksikan kami dengan aneh. Tapi aksi kami belum berakhir. Atas instruksi Romo Yoris, Ketua Kontingen Keuskupan Atambua, kami segera membuat lingkaran formasi tebe. Lalu kami pun tebe di dalam bandara itu diiringi lagu dari speaker berbentuk botol yang kami siapkan. Semua OMK yang menjemput, kami ajak tebe bersama.
      Di luar bandara puluhan orang sudah menunggu. Mereka bukan saja orang muda, tapi ada juga bapak -- bapak, ibu -- ibu dan beberapa anak -- anak. Mereka kelihatan tidak sabar, ingin segera bertemu kami. Kami pun bergegas mengangkat barang bawaan masing -- masing dan berjalan menuju ke arah mereka. Kami disambut dengan jabatan tangan, pelukan hangat, cium pipi kiri kanan dan juga dengan makanan. Kami lalu santap malam bersama di halaman bandara. Sederhana, berkesan dan sulit dilupakan.
      Selesai makan, kami dibagi -- bagi menjadi beberapa kelompok kecil dan diarahkan ke bus, dan mobil -- mobil yang terparkir di situ. Saya dan empat orang teman kebagian menumpang sebuah mobil avansa merah. Dengan mobil itu kami menempuh perjalanan 2 jam ke kota Tondano. Tondano adalah kota tujuan kami untuk ber-live in. Sepanjang perjalanan, saya tidak jemu -- jemu melihat panorama kota Manado, mall -- mall yang menjulang tinggi, gereja -- gereja yang tersebar hampir di tiap persimpangan jalan,  dan patung --patung yang berdiri megah. Sesekali saya bertanya pada bapak Rivo Paendong yang menyetir mobil dan seorang ibu di sampingnya. Mereka berdua menjawab pertanyaan saya dengan sangat ramah. Kadang -- kadang mereka juga bertanya, bercanda dan tertawa bersama kami bila ada hal yang lucu.
      Sebelum sampai ke Tondano kami melewati kota Tomohon. Menurut cerita bapak Rivo, kota Tomohon merupakan kota yang subur dan tumbuh berbagai jenis bunga. Dia juga berkisah setiap tahun selalu diselenggarakan Festival Bunga di sana. Festival itu sangat indah sehingga menarik perhatian banyak wisatawan baik wisatawan asing maupun domestik. Sayangnya kami tidak berkesempatan menyaksikan secara langsung festival tersebut. Kami datang di musim yang tidak tepat.
Live in di Paroki Sta. Rosa Delima Tondano
    Â
      Kurang lebih pada pukul 03.00 WITA, kami dihantar oleh panitia ke rumah -- rumah keluarga yang sudah ditentukan untuk menjalani masa  live in kami. Saya mendapatkan kesempatan ber-live in di rumah seorang ibu bernama Nike.