Mohon tunggu...
Redaktur PPIJ
Redaktur PPIJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Publikasi PPIJ 2021-2022

PPIJ adalah organisasi mahasiswa Indonesia di Jepang. Di laman Kompasiana ini, kami akan merilis seri Jendela Ilmu yang membahas berbagai topik dari beragam bidang keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia dan Bumi: Sebuah Kisah Sejarah (Bagian 3)

3 Februari 2022   05:30 Diperbarui: 3 Februari 2022   12:15 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto cover: Shutterstock 

Jalur Sutra di Laut

Mediterania juga memiliki andil yang cukup signifikan dalam pembentukan jalur perdagangan internasional pertama di sekitar wilayah tersebut. Negara-negara di sekitar Mediterania dan Semenanjung Arab, termasuk peradaban kuno Mesopotamia, merupakan yang pertama menghubungkan bagian paling barat benua Eurasia (gabungan Eropa dan Asia) dan ujung timurnya seperti Asia Tenggara dan Jepang, melalui jalur perdagangan internasional baik darat maupun laut.

Sedini 3000 SM, pedagang Mesopotamia menjual barang-barangnya ke selatan melalui jalur maritim, bermula dari sungai-sungai strategis seperti Efrat dan Tigris yang kemudian bergabung dan berlanjut ke Teluk Persia. Dari sini, mereka mengarungi teluk sampai ke Selat Hormuz, ujung Teluk Persia. Lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri garis pantai Asia Selatan menuju pemberhentian akhir, Pakistan (di Sungai Indus), dan kemudian India. 

Pada zaman-zaman setelahnya, peradaban-peradaban yang lebih baru seperti Mesir kuno, Fenisia, dan Yunani juga mulai membuka jalur perdagangan baru yang bermula dari pantai-pantai Laut Mediterania. 

Barang-barang dagangan yang sampai di pelabuhan Mediterania di delta sungai Nil kemudian diantarkan dengan rombongan unta ke pelabuhan di Laut Merah. 

Dari sini, perjalanan berlanjut dengan kapal mengarungi Laut Merah dan kemudian melewati Selat Bab al-Mandab (dalam bahasa Indonesia, artinya adalah Gerbang Duka; nama ini diberikan karena Laut Merah terkenal dengan berbagai kesulitannya untuk diarungi, entah itu karena hawa yang begitu panas dan kering, banyaknya dangkalan pasir yang tidak terlihat, atau tidak adanya air segar di sepanjang pantainya) menuju Samudera Hindia, entah menuju selatan atau Asia (Paine, 2013).

Kedua laut tersebut, Teluk Persia dan Laut Merah, kemudian menjadi salah dua jalur perdagangan maritim utama bahkan hingga era modern saat ini. Berbeda dari perdagangan zaman dulu yang komoditas utamanya adalah rempah-rempah (akan dijelaskan kemudian), yang menjadi raja pada zaman modern ini adalah minyak.

Rute perdagangan minyak. Sebagian besar minyak dihasilkan di sekitar Teluk Persia dan sebagian kecil lainnya berasal dari Ukraina dan diekspor melalui Selat Bosphorus dan Dardanelles ke negara-negara di Eropa Barat. Sumber: mauldineconomic.com
Rute perdagangan minyak. Sebagian besar minyak dihasilkan di sekitar Teluk Persia dan sebagian kecil lainnya berasal dari Ukraina dan diekspor melalui Selat Bosphorus dan Dardanelles ke negara-negara di Eropa Barat. Sumber: mauldineconomic.com

Sepertiga dari produksi minyak dunia berasal dari negara-negara seperti Qatar, Kuwait, dan Arab. Minyak yang dihasilkan dibawa dengan kapal dari Teluk Persia dan diekspor ke seluruh dunia, tentunya melalui Selat Hormuz, mulut dari Teluk Persia (Mauldin, 2017). 

Akibatnya, selat ini sangat padat akan kapal tanker yang membawa 19 juta barel minyak setiap harinya. Teroris dan bajak laut yang merupakan potensi bahaya di sekitar teluk ini sadar bahwa mereka bisa dengan mudahnya menguasai kapal tanker saat melewati Selat Hormuz sehingga pengamanan yang sangat ekstra diperlukan untuk menjaga kapal (selat dapat berperan sebagai chokepoint baik untuk militer maupun perekonomian; akan dijelaskan kemudian).

Sebagian minyak yang dihasilkan di Teluk Persia diekspor ke Eropa melalui Laut Merah dengan melewati Selat Bab al-Mandab, lalu menyusuri Kanal Suez menuju Laut Mediterania untuk kemudian sampai di Eropa. 

Sebagian lain diekspor ke negara-negara Asia seperti Indonesia, Cina, Korea Selatan, dan Jepang melalui Selat Malaka. Oleh karenanya, baik dulu maupun sekarang, selat-selat tersebut tetap sibuk dengan aktivitas perdagangan. Faktanya, 90% perdagangan dunia saat ini masih mengandalkan laut (Mauldin, 2017).

Ada masanya saat kedua selat strategis di Semenanjung Arab tersebut tidak dapat digunakan oleh para pedagang Eropa, yaitu pada saat zaman dominasi kekhalifahan Islam di sepanjang negara-negara Arab, Afrika Utara, hingga sebagian kecil barat daya Asia sekitar akhir abad ke-7 (Bernstein, 2009). Pada saat itu, jalur-jalur tersebut (termasuk Jalur Sutra di Asia Tengah) dilarang digunakan oleh siapapun kecuali kerajaan Islam itu sendiri. 

Blokade ini menyebabkan para penjelajah Eropa tidak bisa pergi ke Asia melalui kedua jalur sutra maritim tersebut. Barulah pada beberapa ratus tahun setelahnya, mereka kembali mengarungi Samudera Hindia menuju Asia, namun tidak melewati Mediterania, melainkan jalur di sepanjang pantai Afrika dan bahkan Samudera Atlantik dan Pasifik (yang kemudian menjadi sejarah penemuan benua Amerika; akan diceritakan di artikel mengenai pengaruh atmosfer).

Lalu, dimana peran Indonesia dalam segala tetek bengek rute perdagangan ini? Cek bagian selanjutnya untuk mencari tahu! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun