Mohon tunggu...
Rebiyyah Salasah
Rebiyyah Salasah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Mahasiswa yang ke-maha-an nya dipertanyakan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Apakah Bunuh Diri Solusi untuk Hidup yang Tak Berarti?

16 Februari 2019   14:11 Diperbarui: 16 Februari 2019   17:46 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggulingkan batu ke atas bukit (Sumber Gambar: Peter Dronen)

Camus tidak memberi tahu bagaimana Sisifus menanggung hukumannya, Camus lebih terpesona pada kondisi pikiran Sisifus saat batu berguling menjauh darinya ketika sampai di puncak gunung.

"I leave Sisyphus at the foot of the mountain! One always finds one's burden again. But Sisyphus teaches the higher fidelity that negates the gods and raises rocks. He too concludes that all is well. This universe henceforth without a master seems to him neither sterile nor futile. Each atom of that stone, each mineral flake of that night-filled mountain, in itself forms a world. The struggle itself toward the heights is enough to fill a man's heart," tulis Camus

Hidup adalah perjuangan sia-sia tanpa harapan. Nasib mengerikan muncul ketika kita terus berharap, ketika ada sesuatu yang lebih disukai, atau ketika ada sesuatu yang lebih patut digapai. Namun, jika kita kita menerima bahwa tidak ada alternatif untuk disukai atau digapai, kita dapat menerima nasib dalam ketakutan, kita dapat menerima nasib tanpa keberatan, kita sepenuhnya menghargai kehidupan.

"One must imagine Sisyphus happy," Lanjut Camus.

Kebahagiaan dan absurditas berkaitan erat, keduanya terhubung dengan penemuan bahwa dunia kita dan nasib kita adalah milik kita sendiri, bahwa tidak ada harapan, bahwa hidup kita adalah murni apa yang kita dapatkan darinya. Kita bisa benar-benar bahagia ketika kita menerima hidup kita dan nasib kita sebagai sepenuhnya milik kita sendiri.

Jika kebahagiaan sejati mungkin, maka Sisifus harus berbahagia. Meskipun kemudian timbul pertanyaan, apakah membayangkan Sisifus bahagia atau membayangkan kebahagiaan sejati tidak seperti lompatan iman? Apakah bukan penyangkalan?

Terlepas dari itu, untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip kalimat yang ditulis Wada , "Semoga aku bukan Sisifus yang kamu bayangkan bahagia." (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun