Mohon tunggu...
Ready Susanto
Ready Susanto Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis.

Editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Bukunya antara lain "Emotikon: Kamus Gaul Internet", "Omgz!: Kamus Slang Internet", dan "100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Mission Impossible" Penerbit Indonesia

25 Oktober 2013   16:51 Diperbarui: 27 Juni 2017   21:29 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebuah buku "langka" yang menunjukkan kekeraskepalaan penerbit Indonesia, sekaligus mengupas habis hambatan industri buku di negeri ini.


Industri penerbitan buku di Indonesia bukanlah industri yang populer. Dari segi bisnis, industri itu tak terlalu "menjanjikan". Perhatikanlah berapa oplah rata-rata setiap buku yang terbit di Indonesia: antara 2.000 hingga 3.000 eksemplar per judul. Ada tambahan lagi, buku sejumlah itu rata-rata terjual dalam waktu 1-2 tahun.Sebuah buku akan disebut laris (bestseller)apabila bisa terjual habis dalam hitungan beberapa bulan setelah terbit dan mencapai oplah 5.000 eksemplar. Bandingkan dengan buku laris di luar negeri yang bisa mencapai oplah jutaan eksemplar. Buku Stephen Hawking, A Brief History of Time misalnya, telah terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia. Sementara edisi Indonesianya, Riwayat Sang Kala (diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, Jakarta), "baru" terjual puluhan ribu eksemplar.

Yang "agak" lumayan adalah para penerbit buku pelajaran yang dari segi oplah bisa menembus angka puluhan ribu eksemplar per judul. Namun, rintangan yang cukup besar bagi para penerbit yang akan masuk ke bisnis tersebut adalah soal pemasaran yang membutuhkan armada besar. Sejak beberapa tahun lalu, tata niaga buku pelajaran "rusak" ketika sebuah penerbit mulai memotong jalur distribusi penerbit—distributor—toko buku—siswa menjadi langsung penerbit—sekolah. Sejak saat itu, para penerbit buku pelajaran berlomba-lomba dan "adu kuat" dalam penjualan langsung ke sekolah.

Ketidakpopuleran profesi penerbit buku juga terlihat dari "kalah pamor"-nya profesi-profesi yang ada di penerbitan buku. Profesi editor buku kurang dikenal masyarakat, tak seperti profesi editor atau redaktur di penerbitan pers. Bahkan, adakalanya kalau kita menyebut profesi editor, orang akan balik bertanya, "Editor di koran apa?" Atau, yang lebih parah lagi kalau mereka mengelirukan dengan profesi auditor.

Secara institusi, penerbit buku hampir selalu dikelirukan dengan percetakan (hlm. 261). Persepsi tersebut sangat umum ditemui di semua kalangan, bahkan saya pernah mengalami hal seperti itu saat mengurus akta perusahaan di kantor notaris, yang notabene mestinya mengerti secara persis bidang-bidang usahayang tercantum dalam akta-akta.

Buku yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 17 Mei 2000 ini sedikit-banyak dapat meluruskan kekeliruan-kekeliruan semacam itu. Buku ini sendiri dapat disebut sebuah buku “langka” lantaran tak sering para publishing man ini angkat bicara mengenai profesi yang mereka tekuni. Ada 24 praktisi penerbitan yang menyumbangkan tulisan dalam buku tersebut, dan pelbagai latar belakang berbeda, mulai dari (yang terbanyak) bidang editorial, desain, produksi, pemasaran/distribusi, keuangan, hingga manajemen.

Penuturan mereka itu cukup menarik dan tampaknya dapat membuka cakrawala para pembaca akan pelbagai kerumitan yang dihadapi kalangan penerbit. Sulitnya mendapatkan naskah yang siap terbit, repotnya mengurusi soal-soal pemasaran, promosi, atau pembajakan buku merupakan senarai (daftar) masalah yang dihadapi oleh kalangan penerbit. Tentu saja, soal-soal tersebut cukup sering muncul di media massa, tapi penuturan langsung dari sumber pertama merupakan kekuatan utama buku ini.

Lebih dari itu, meski penerbit Indonesia tak populer dan produknya (baca: buku) terus dibebani pajak, orang-orang penerbitan itu tampaknya tak pernah mengeluh—paling tidak kalau Anda membaca buku ini. Yang mencuat justru optimisme bahwa peluang untuk maju dalam bidang itu sangat terbuka. Tak kalah pentingnya, orang-orang penerbitan itu memiliki kebanggaan besar terhadap profesi yang mereka tekuni. Barangkali, inilah salah satu sebab mengapa industri penerbitan buku "tak mati-mati". Di dalam masyarakat kita yang angka melek hurufnya masih rendah dan memasyarakatkan membaca adalah suatu kegiatan yang hampir-hampir mission impossible, usaha "keras kepala" dari para penerbit itu sangat layak diacungi jempol.

(Tulisan ini dimuat dalam rubrik “Rehal”, Majalah Forum Keadilan, No. 23, 10 September 2000)

Judul buku: Menjadi Penerbit: Para Praktisi Industri Penerbitan Buku di Indonesia Berbicara Mengenai Profesinya; Editor: Mula Harahap, dkk.; Penerbit: Ikapi Jakarta, Juni 2000, 186 hlm.)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun