Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin yang Bermimpi, Bukan Pemimpi yang Memimpin

29 Agustus 2020   08:54 Diperbarui: 29 Agustus 2020   08:44 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, penulis menonton sebuah dokumenter yang menarik. Judulnya adalah "The Living Dead: The Attic". Tayangan yang dibuat oleh Adam Curtis ini memiliki poin yang menarik. Poin tersebut mengupas tentang hubungan seorang pemimpin dengan mimpi yang dia angkat.

Dalam mengupas hubungan tersebut, Curtis menggunakan studi kasus dua pemimpin besar Britania Raya; Margaret Thatcher dan Winston Churchill. Menurut Beliau, kepemimpinan Thatcher didorong oleh keinginannya untuk mewujudkan impian Churchill. Sebuah mimpi akan Britania Raya yang kuat dan berdaulat, bak singa yang mengaum kepada dunia.

Lebih jauh lagi, mimpi tersebut memiliki dua efek. Dalam jangka pendek, mimpi itu mendorong pendirian sang pemimpin di mata rakyat. Sementara dalam jangka panjang, mimpi tersebut justru menyerang balik sang pemimpin. Dengan kata lain, dia menjadi bumerang yang menjatuhkan pendirian pemimpin tersebut. Bagaimana bisa?

Ternyata, ada sebuah jeda (time lag) yang terjadi. Populi butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa impian pemimpin tersebut tidak mungkin terwujud. The past will never come to the present. Inggris era Victoria tidak akan terjadi kembali di era 90an. Ketika rakyat sadar akan realita ini, maka apresiasi mereka terhadap sang pemimpin langsung gembos.

Dokumenter ini membuktikannya dengan menyajikan dua peristiwa pada masa Thatcher (1979-1990). Saat Inggris memenangkan Perang Falkland (1982), patriotisme Churchillian menyapu Britania Raya. Mereka kembali bangga menjadi British. Lantas, PM Thatcher dipuji sebagai pemimpin yang memberikan Inggris it's long-lost pride.

Akan tetapi, ketika kebijakan poll tax diterapkan pada tahun 1989, London malah digeruduk massa. Banyak orang yang bahkan sebelumnya mendukung Thatcher marah. Mereka tidak terima bahwa sebuah pajak yang memberatkan diterapkan secara tiba-tiba kepada mereka. "The problem was that she forgot it was a tax. She's a tax cutter, now she introduced a new tax. People just don't get it," tandas Tim Bell.

Menurut Curtis, mayhem ini terjadi karena Thatcher kehilangan kontak dengan impian Churchill. Penulis berpendapat bahwa penilaian ini kurang tepat. Beliau justru kehilangan arah untuk mewujudkan impian tersebut. Kompas tersebut hilang karena kualitas Thatcher sebagai pemimpin yang bermimpi mulai lepas dari genggaman. Apa kualitas yang hilang itu?

Pemimpin yang bermimpi (visionary leaders) adalah seorang yang memiliki pandangan akan potensi dunia di masa depan dan mengambil langkah untuk mewujudkannya. Jadi, mereka punya mimpi dan mempunyai rencana konkret untuk mewujudkannya. Dalam memimpin, visionary leaders memiliki tiga karakter utama.

Pertama, berani mengambil risiko. Kedua, memiliki kemampuan mendengar yang baik. Ketiga, bertanggung jawab atas pekerjaannya (Lucas dalam thebalancecareers.com, 2020). Jika satu saja dari karakter ini terkikis, maka kemampuan seorang pemimpin sebagai visioner akan menghilang.

Menurut hemat penulis, Margaret Thatcher kehilangan karakter kedua pada akhir kekuasaannya. Beliau mulai tidak mendengarkan saran orang lain dalam membuat kebijakan. Akibatnya, hubris started to take over. Kebijakan diambil hanya berlandaskan insting jangka pendek yang belum diverifikasi. Inilah yang memicu blunder seperti poll tax.

Dalam kasus Indonesia, fenomena serupa terjadi kepada Bapak Proklamator kita. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memulai melemahnya kemampuan mendengar seorang Bung Karno. Bahkan, Bung Hatta sendiri sampai menjuluki Beliau "diktator Sukarno" (pwmu.co, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun