Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mari Pagari Peran Pemerintah Setelah Krisis Ini

23 Mei 2020   15:37 Diperbarui: 23 Mei 2020   15:36 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.thinglink.com/scene/717758559030345728

Beberapa hari lalu, penulis terlibat dalam sebuah webinar yang inspiratif. Pembicaranya ada mantan Menteri Keuangan RI, Prof. Chatib Basri dan Wakil Menteri Keuangan RI, Prof. Suahasil Nazara. Seiring pembicaraan mengalir, berbagai figur mengenai ekonomi Indonesia mulai mengalir dari kedua narasumber. Salah satu figur yang paling menarik perhatian penulis adalah figur defisit kita saat ini.

Ada yang tahu berapa persen defisit kita saat ini? 6,27% dari PDB. Angka ini melebar dari "defisit darurat" sebelumnya sebesar 5,07%. Dalam nilai moneter, defisit anggaran Indonesia membengkak dari Rp 853 Triliun menjadi Rp 1.028,6 Triliun. Kenaikan sebesar Rp 175,6 Triliun ini digunakan untuk subsidi bunga UMKM, perpanjangan diskon tarif listrik, dan bantuan sosial (Kompas.com, 2020). Melalui pelonggaran ini, diharapkan ekonomi Indonesia akan bertahan melawan serangan pandemi.

Lantas, darimana pemerintah membiayai defisit ini? Tentu saja melalui utang. Dengan kata lain, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar modal domestik dan internasional. Inilah yang dalam terminologi ekonomi disebut sebagai deficit financing. Apa artinya?

Maknanya, negara menggunakan instrumen utang untuk membiayai belanja publik yang lebih besar dari penerimaan negara. Belanja ini adalah bagian dari permintaan agreggat (agreggate demand/AD) dalam perekonomian. Maka dari itu, pemerintah menggunakan teknik ini untuk mencapai empat tujuan.

Pertama, memenuhi kebutuhan finansial saat situasi darurat. Jelas-jelas pandemi ini adalah situasi darurat kesehatan. Kedua, mendorong tingkat permintaan efektif dan belanja sektor privat. Ketiga, mengendalikan fluktuasi output dan menurunkan pengangguran. Dalam mahzab Keynesian, demand creates its own supply. Dampaknya, angka PDB dan pengangguran ditentukan oleh tingkat dan fluktuasi AD. Keempat, memobilisasi sumber daya ekonomi sesuai dengan rencana pemerintah. Dalam kasus ini, mobilisasi dilakukan untuk memerangi COVID-19.

Keempat tujuan di atas memang mulia. Akan tetapi, mereka bukan menara gading yang tanpa cela. Mengapa? Pemerintah menggunakan utang untuk mencapainya. Lantas, utang sama dengan mengambil sumber daya ekonomi dari masa depan untuk masa kini.

Maka dari itu, utang di masa pandemi ini akan ditanggung oleh generasi mendatang. Iya, kelompok yang sering disebut sebagai millennials oleh media. Semakin kesini, beban para millennials seakan semakin berat. Dari tahun 2014-2019, pemerintah mengakumulasi utang untuk pembangunan infrastruktur jangka panjang. Sementara di tahun 2020, pemerintah banyak berutang untuk deficit financing. Akibatnya, rasio utang kita diprediksi meledak sampai 36% dari PDB (Wildan dalam ekonomi.bisnis.com, 2020).

Kini, kita memang sedang fokus bertempur melawan COVID-19. Namun, kita harus mulai memandang jauh ke depan. Bagaimana cara agar gelembung utang ini bisa dikempeskan? Sebab jika tidak, kemakmuran bangsa kita menjadi taruhannya. Jangan sampai kita gagal belajar dari pengalaman 1997.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa gelembung utang membesar karena belanja sektor publik yang terus meningkat. Sementara, penerimaan pajak kita belum solid karena tax ratio yang masih rendah. Bahkan di tahun 2019, tax ratio kita masih 11,5%. Jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD sebesar 34,2% (Kevin dalam cnbcindonesia.com, 2020).

Implikasinya, kita harus membalikkan kedua kondisi ini agar gelembung utang tidak membesar. Pertama, kita harus menjaga laju belanja sektor publik. Kedua, tingkat penerimaan pajak harus ditingkatkan dengan mendorong tax ratio. Lantas, bagaimana cara membalikannya?

Menurut hemat penulis, jawabannya hanya satu. Kita harus membatasi peran pemerintah secara jelas. Dengan cara lain, kita harus memfokuskan peran pemerintah untuk melakukan what it can do best. Melindungi negara dari serangan eksternal dan internal; Menjalankan pelayanan publik; Menciptakan jaring pengaman sosial; Melindungi hak kepemilikan properti dan menegakkan kontrak. Sisanya? Biarkan pasar bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun