Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik

Razia Buku itu Tindakan yang Bodoh

5 Agustus 2019   19:28 Diperbarui: 5 Agustus 2019   19:40 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.sulselsatu.com

Setelah tulisan Takut Kok Sama Komunis terbit, drama razia buku masih berlanjut. Seperti sinetron Cinta Fitri yang berlangsung berjilid-jilid. Kali ini, razia buku berlanjut ke Gramedia Trans Studio Mall Makassar. Empat orang pemuda bertindak layaknya "penegak hukum" dengan mengambil semua buku yang dianggap Marxis. Mulai dari buku bersampul Marx sampai buku berjudul "Marxis".

Foto razia tersebut sudah tersebar di berbagai media sosial. Di antara buku-buku tersebut, terdapat buku karya Franz Magnis-Suseno. Melihat hal ini, berbagai reaksi langsung bercampur aduk. Antara ingin tertawa, tetapi miris juga melihatnya. Mengapa? Fakta ini mencerminkan kurangnya literasi masyarakat kita (Taufiqqurahman dalam news.detik.com, 2019).

Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis) adalah seorang rohaniawan Katolik dan budayawan Indonesia. Beliau dikenal sebagai intelektual yang anti-Marxis. Dari Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme sampai Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Romo Magnis mengkritik habis paham Marxisme in all its forms. 

Bahkan, Romo Magnis menyatakan Marxisme sebagai sebuah fosil. "Marxisme tidak lebih dari ideologi perjuangan buruh industri akhir abad ke 19, dia sekarang tidak akan lebih menarik perhatian daripada pemikiran Michail Bakunin dan Robert Owen," tulis Beliau. Selain itu, Marxisme tidak cocok diterapkan di Indonesia yang demokratis dan pluralis (Permana dalam news.detik.com, 2019).

Mengapa? Sebab Marxisme memerlukan sebuah kediktatoran proletariat untuk memulai pembangunan sebuah masyarakat sosialis. Kediktatoran ini harus mampu mengatur segenap kehidupan masyarakat seperti sebuah mesin besar. And it must not tolerate any opposition. Dampaknya, semua oposisi terhadap pemerintahan ini dianggap sebagai "borjuis reaksioner" yang harus ditumpas.

Padahal, oposisi adalah pelaksana check and balance sebagai mekanisme dasar demokrasi. Tidak ada oposisi, tidak ada demokrasi. Apalagi jika ketiadaan oposisi itu dipaksakan oleh sebuah kediktatoran. Ini adalah sebuah antitesis dari demokrasi sebagai cara memerintah suatu negara.

Tetapi, tidak menyetujui bukan berarti menutup akses pembelajaran terhadap ideologi tersebut. Justru, Romo Magnis percaya bahwa Marxisme harus dipelajari dengan pandangan kritis dan ilmiah (Permana dalam news.detik.com, 2019). Ini diperlukan agar seluruh rakyat Indonesia paham mengapa Marxisme harus kita lawan. It is a spectre that haunts our freedom and democracy.

Masalahnya, rakyat Indonesia tidak pernah memahami musuhnya sendiri. Banyak manusia Indonesia belum paham mengapa Marxisme-Leninisme harus dilawan. Kebanyakan dari kita masih melawan Marxisme karena memori G30S/PKI atau Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Jadinya, kita seperti seorang petarung buta. Main pukul membabi buta ke segala arah, tanpa melihat dan memahami lawan.

Razia buku kemarin adalah contoh pukulan membabi buta tersebut. "Pukulan" seperti ini bukanlah perlawanan yang efektif. Justru, kita menjadi bahan tertawaan banyak pihak. Terutama pihak-pihak pro-Marxis dan Gerakan Kiri secara umum. Kita ditertawakan karena ketidakmampuan membedakan literatur pro dan anti-Marxis. Menandakan kurangnya literasi di antara masyarakat kita.

Lantas, bagaimana melawan Marxisme di era Mobilisasi ini?

Pertama, cabut Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Menurut hemat penulis, legislasi ini adalah blindfold yang menutup mata masyarakat terhadap Marxisme-Leninisme. Dampaknya, landasan posisi Indonesia sebagai lawan Marxisme-Leninisme menjadi rapuh. Ia hanya berlandaskan koersi pemerintah di era yang lalu. Bukan karena posisi ideologis yang diambil berdasarkan studi empiris-kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun