Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bangkitnya Didi Kempot Patahkan Argumen Anti-Globalisasi

3 Agustus 2019   16:49 Diperbarui: 7 Agustus 2019   13:55 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.hitekno.com/

Media sosial dipandang sebagai corong masuknya budaya asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, sebagai agen westerinisasi yang memusnahkan kebudayaan asli suatu bangsa. Jadi, kalau mau melindungi kebudayaan asli bangsa, jangan mau menerima globalisasi di bidang budaya. Itulah premis yang berlaku bagi kelompok anti-globalisasi.

Mengapa demikian? Kaum anti-globalisasi menggunakan asal globalisasi sebagai legitimasi. Globalisasi itu berasal dari Barat. Ia menjadi alat penyebaran semua hal berbau Barat, termasuk budaya.

Jadi, menerima globalisasi sama saja dengan cow into submission budaya asli bangsa kepada budaya barat. Maka, mereka beranggapan bahwa globalisasi adalah zero-sum game yang harus dihindari.

Apakah hal di atas bisa terjadi? Bisa. Tetapi dengan asumsi bahwa bangsa tersebut tidak memiliki identitas budaya yang kuat. Indonesia tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Kita adalah salah satu bangsa paling multikultural di dunia. Ada 1.340 suku bangsa di Indonesia (indonesia.go.id, 2017). Setiap suku bangsa tersebut mempunyai budaya yang unik dan menonjol.

Musik Campursari yang dibawakan Didi Kempot adalah salah satu produk budaya tersebut. Sama halnya seperti musik gambang kromong yang dibawakan Benyamin Suaeb. Ia menjadi sebuah sub-kultur yang membumi di masyarakat.

Ketika pembumian itu terjadi, ia menjadi sebuah identitas budaya yang dibawa oleh setiap anggota masyarakat. Di manapun dan kapanpun. Termasuk di media sosial. 

Millennials yang mengidentifikasi pengalaman hidup dengan lagu-lagu campursari Didi Kempot pun menunjukkan identitas tersebut. Ini dibuktikan dengan berbagai postingan soal Didi Kempot di media sosial. Mulai dari ekspresi para Sad Bois ketika menonton Godfather mereka bernyanyi. Hingga berbagai meme plesetan lirik lagu Beliau yang terkenal.

Ternyata, manifestasi budaya asli bangsa di antara millennials menjadi kekuatan yang sangat besar. Ia menjadi bukti kekuatan mobilisasi di era post-modern ini. Berkat mobilisasi, corong media sosial berhasil dibalikkan oleh para Sobat Ambyar, Sad Bois, Sad Girls, dan Kempoters. Ia menjadi agen budaya asli bangsa untuk manggung di kancah nasional, bahkan internasional.

Dampaknya, campursari berhasil menjadi hype di antara millennials. "Ternyata anak-anak muda di negeri ini masih sangat mencintai budaya," tandas Lord Didi (wowkeren.com, 2019).

Campursari tidak lagi dianggap menjadi musik kampungan, melainkan sebagai medium pelipur lara. Tempat melampiaskan semua nelangsa dalam hati, sambil berjoget menikmati irama musik Jawa. Patah hati mending dijogeti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun