Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pendekatan Pasar demi Industri Kertas yang Berkelanjutan

14 Juli 2019   09:05 Diperbarui: 14 Juli 2019   09:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/produsen-kertas-luncurkan-kebijakan-pengelolaan-hutan-lestari

Indonesia adalah produsen kertas terbesar keenam di dunia. Dengan 84 perusahaan kertas yang beroperasi, tak heran jika Indonesia mencapai predikat ini. 

Pada tahun 2018, industri kertas Indonesia memiliki kapasitas produksi sebesar 16 juta ton. Selain itu, ia juga memiliki kontribusi ekspor senilai US$7,26 miliar (Ekonomi Bisnis, 2019).

Statistik di atas menunjukkan bahwa industri kertas Indonesia memiliki kontribusi yang penting dalam perekonomian masyarakat. Industri ini memberikan nilai tambah bagi SDA kita yang melimpah. Dalam rantai nilainya, industri kertas mempekerjakan 1,36 juta orang, baik secara langsung maupun tidak langsung (Kemenperin, 2017). Penghidupan mereka bergantung pada industri ini.

Jika industri kertas mengalami economic decline, jutaan rakyat Indonesia akan terkena imbasnya. Kalau ini terjadi, efeknya akan merembet pada sektor-sektor lain dalam perekonomian kita, mulai dari menurunnya konsumsi domestik sampai memburuknya kinerja neraca perdagangan Indonesia.

Masa depan ekonomi industri kertas adalah masa depan kita semua. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin masa depan industri kertas. Jaminan itu terwujud dalam sebuah industri kertas yang berkelanjutan (sustainable). 

Apa yang dimaksud dengan sustainable? Artinya, rantai nilai (value chain) industri kertas bisa terus berjalan dalam jangka panjang, khususnya keberlanjutan proses produksi kertas sebagai awal rantai nilai. Sehingga, produktivitas ekonomi industri kertas bisa meningkat secara berkelanjutan. Akhirnya, industri kertas Indonesia bisa memaksimalkan potensinya sebagai economic powerhouse.

Lantas, bagaimana menjaga keberlanjutan proses produksi kertas? Kunci jawabannya terletak pada keberlanjutan persediaan kayu sebagai bahan baku kertas. Kayu sendiri berasal dari pohon yang berada di hutan. Sehingga, keberlanjutan proses produksi kertas ditentukan oleh ketersediaan hutan di suatu wilayah.

Bagaimana ketersediaan hutan di Indonesia? Fakta menunjukkan bahwa hutan kita sedang dalam bahaya. Tingkat deforestasi kita memang sudah menurun menjadi 0,48 juta hektar pada tahun 2018 (Arumingtyas dalam mongabay.co.id, 2018). Tetapi, penurunan ini tidak mampu menahan tren deforestasi dalam jangka panjang.

Bayangkan saja, 64 juta hektar hutan kita sudah ditebang selama 50 tahun terakhir (Manurung dan Lash dalam wri-indonesia.org, 2014). Ini sama saja dengan luas pulau Sumatera, Jawa, dan Sunda Kecil digabung menjadi satu. Mencengangkan, bukan? Sampai di tahun 2018, luas hutan Indonesia tinggal 125,9 juta hektar (Wandi dalam infopublik.id, 2018).

Jika tren deforestasi ini terulang, hutan di Indonesia akan habis dalam waktu kurang dari seabad. Habisnya hutan mengakibatkan hilangnya pohon-pohon yang menjadi sumber bahan baku kertas. Akibatnya, keberlangsungan industri kertas Indonesia menjadi terancam di masa depan.

Maka dari itu, pemerintah harus segera melakukan terobosan kebijakan dalam bidang kehutanan. Terobosan ini harus mampu mencakup dua hal. Pertama, kebijakan preventif koersif jangka pendek. Kedua, kebijakan berbasis pendekatan pasar (market-based policies) dalam jangka panjang. Melalui dua lingkup ini, diharapkan deforestasi bisa menurun dan stok hutan Indonesia tetap terjaga.

Mari kita mulai dari kebijakan preventif koersif jangka pendek. Selama ini, deforestasi di Indonesia banyak terjadi karena pembalakan liar. Tindakan ini termasuk sebagai pelanggaran hukum. Sehingga, the presence of law harus ditingkatkan di area hutan, untuk menciptakan pengawasan dan efek jera.

Pertama-tama, pemerintah harus memaksimalkan penggunaan teknologi informasi dalam pemantauan wilayah hutan. Gunakan drone, agar setiap pengelola hutan tahu situasi di wilayahnya. Selain itu, gunakan CCTV dengan fitur deteksi wajah, agar pelaku penebangan liar bisa mudah untuk diketahui dan ditangkap.

Namun, percuma saja sistem pengawasan hutan kita canggih, kalau tidak ada aparat penegak hukum yang bisa langsung menindak. Maka, keberadaan aparat penegak hukum juga harus ditingkatkan di areal hutan. Supaya setiap pelanggar di areal hutan, khususnya para penebang liar bisa segera diadili.

Ketika keduanya digabungkan, para penebang liar pasti berpikir seribu kali untuk membalak hutan seenak jidatnya. Sebab the presence of law meningkat di area hutan. Kehadiran dan ketegasan hukum inilah yang diperlukan untuk menghalangi laju deforestasi dalam jangka pendek.

Setelahnya, mari kita berfokus pada kebijakan berbasis pendekatan pasar dalam jangka panjang. Tujuan dari kebijakan ini adalah mengubah insentif bagi perusahaan yang mengeksploitasi hutan. Sampai sekarang, insentif yang dirasakan oleh perusahaan perhutanan adalah 'eksploitasi sampai habis'. Ini harus dirubah menjadi insentif 'eksploitasi secara berkelanjutan'.

Bagaimana caranya? Pertama, pemberlakuan forest pricing bagi perusahaan pengelola hutan. Kedua, pemberlakuan sistem kuota pengelolaan hutan sebagai pengganti sistem HPH. Ketiga, korporatisasi Perum Perhutani sebagai holding BUMN dan melantai ke BEI.

Apa yang dimaksud dengan forest pricing? Secara sederhana, konsep ini adalah suatu upaya untuk 'memberikan harga' terhadap penggunaan hutan produksi. Harga penggunaan setiap hutan ditentukan oleh biaya reforestasi dari hutan tersebut per hektar. Semakin luas hutan yang dieksploitasi perusahaan, semakin banyak yang harus ia bayarkan.

Sejauh ini, dunia internasional menyatakan bahwa biaya minimum reforestasi hutan adalah US$ 1.500 per hektar (partners-rcn.org, 2017). Ini sama dengan Rp 21.224.250 dengan asumsi kurs US$ 1 sama dengan Rp 14.149,5.

Tetapi, bagaimana harga tersebut diberikan kepada rantai nilai produksi kertas? Disinilah sistem kuota pengelolaan hutan mengambil peran. Kuota disini adalah 'saham' dari persediaan hutan kita setiap tahun. Ia bisa diperjualbelikan antar pihak manapun yang ingin mengelola hutan. Sehingga, tercipta sebuah pasar instrumen yang merepresentasikan persediaan hutan di Indonesia.

Sistem berbasis pasar ini menggantikan sistem konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang berbasis korporatisme dan KKN. Dengan kata lain, koneksi 'orang dalam' tidak lagi menjadi penentu besaran hutan yang dikelola. Kuota membuat persediaan hutan, efisiensi, dan rasionalitas ekonomi menjadi basis besaran hutan yang dikelola perusahaan. Persis seperti pasar modal jadinya.

Selanjutnya, apa konsekuensi kedua solusi ini bagi pemerintah? Pertama, pemerintah memiliki sumber penerimaan dari pajak yang dikenakan pada jual-beli kuota. Kedua, Perum Perhutani sebagai holding BUMN memiliki basis penerimaan yang stabil dari jual-beli kuota. Bayangkan saja, Perum Perhutani sendiri mengelola 1.806.448 hektar hutan produksi di Indonesia (bumn.go.id, 2018).

Jutaan hektar ini dapat diperjualbelikan kuotanya setiap tahun. Dengan potensi ini, Perum Perhutani bisa meraup ratusan milyar rupiah tiap tahunnya melalui jual-beli kuota. Sehingga, holding BUMN ini bisa layak investasi di mata investor, alias layak untuk dikorporatisasi dan melantai di bursa.

Untuk apa Perum Perhutani dikorporatisasi? Ini perlu dilakukan karena revenue-taking adalah kunci dari reformasi konservasi hutan kita (Kimbrough dalam news.mongabay.com, 2014). Salah satu cara untuk mendorong revenue-taking adalah korporatisasi. Orientasi Perhutani diubah menuju pencarian keuntungan secara murni.

Selain mengubah orientasi, korporatisasi juga menjadi syarat untuk melantai di bursa. Mengapa Perhutani perlu melantai di bursa? Supaya Perhutani bisa membumikan instrumen green investment di Indonesia. Mulai dari obligasi korporasi hijau (green corporate bond) sampai saham Perhutani itu sendiri. Sehingga, masyarakat bisa terlibat langsung dalam pendanaan konservasi hutan Indonesia.

Jika solusi-solusi ini berhasil diterapkan, rantai nilai industri kertas akan menanggung biaya reforestasi hutan Indonesia. Mengapa? Perusahaan pengelola hutan pasti memasukkan biaya forest pricing dan kuota pengelolaan hutan dalam harga jual kayu. Harga jual kayu inilah yang dibayarkan industri kertas untuk bahan baku mereka. Maka, merambatlah biaya itu sampai ke konsumen.

Akhirnya, pendekatan pasar ini mendorong rantai nilai untuk mewujudkan industri kertas yang berkelanjutan. Industri kertas melakukannya dengan berkontribusi dalam menjaga sumber bahan baku industrinya. Yaitu hutan di mana kehidupan kita semua bergantung.

SUMBER

https://www.mongabay.co.id/2018/07/19/buku-kondisi-hutan-indonesia-terkini-seperti-apa/. Diakses pada 2 Juli 2019.

https://wri-indonesia.org/id/publication/kondisi-hutan. Diakses pada 2 Juli 2019.

http://infopublik.id/read/259865/luas-kawasan-hutan-indonesia-1259-juta-hektare-.html.Diakses pada 2 Juli 2019.

https://www.mpi.govt.nz/law-and-policy/legal-overviews/fisheries/quota-management-system/. Diakses pada 2 Juli 2019.

http://bumn.go.id/perhutani/halaman/128. Diakses pada 2 Juli 2019.

https://news.mongabay.com/2014/03/next-big-idea-in-forest-conservation-privatizing-conservation-management/. Diakses pada 2 Juli 2019.

https://partners-rcn.org/can-restore-350-million-hectares-2030/. Diakses pada 3 Juli 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun