Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pendekatan Pasar demi Industri Kertas yang Berkelanjutan

14 Juli 2019   09:05 Diperbarui: 14 Juli 2019   09:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/produsen-kertas-luncurkan-kebijakan-pengelolaan-hutan-lestari

Mari kita mulai dari kebijakan preventif koersif jangka pendek. Selama ini, deforestasi di Indonesia banyak terjadi karena pembalakan liar. Tindakan ini termasuk sebagai pelanggaran hukum. Sehingga, the presence of law harus ditingkatkan di area hutan, untuk menciptakan pengawasan dan efek jera.

Pertama-tama, pemerintah harus memaksimalkan penggunaan teknologi informasi dalam pemantauan wilayah hutan. Gunakan drone, agar setiap pengelola hutan tahu situasi di wilayahnya. Selain itu, gunakan CCTV dengan fitur deteksi wajah, agar pelaku penebangan liar bisa mudah untuk diketahui dan ditangkap.

Namun, percuma saja sistem pengawasan hutan kita canggih, kalau tidak ada aparat penegak hukum yang bisa langsung menindak. Maka, keberadaan aparat penegak hukum juga harus ditingkatkan di areal hutan. Supaya setiap pelanggar di areal hutan, khususnya para penebang liar bisa segera diadili.

Ketika keduanya digabungkan, para penebang liar pasti berpikir seribu kali untuk membalak hutan seenak jidatnya. Sebab the presence of law meningkat di area hutan. Kehadiran dan ketegasan hukum inilah yang diperlukan untuk menghalangi laju deforestasi dalam jangka pendek.

Setelahnya, mari kita berfokus pada kebijakan berbasis pendekatan pasar dalam jangka panjang. Tujuan dari kebijakan ini adalah mengubah insentif bagi perusahaan yang mengeksploitasi hutan. Sampai sekarang, insentif yang dirasakan oleh perusahaan perhutanan adalah 'eksploitasi sampai habis'. Ini harus dirubah menjadi insentif 'eksploitasi secara berkelanjutan'.

Bagaimana caranya? Pertama, pemberlakuan forest pricing bagi perusahaan pengelola hutan. Kedua, pemberlakuan sistem kuota pengelolaan hutan sebagai pengganti sistem HPH. Ketiga, korporatisasi Perum Perhutani sebagai holding BUMN dan melantai ke BEI.

Apa yang dimaksud dengan forest pricing? Secara sederhana, konsep ini adalah suatu upaya untuk 'memberikan harga' terhadap penggunaan hutan produksi. Harga penggunaan setiap hutan ditentukan oleh biaya reforestasi dari hutan tersebut per hektar. Semakin luas hutan yang dieksploitasi perusahaan, semakin banyak yang harus ia bayarkan.

Sejauh ini, dunia internasional menyatakan bahwa biaya minimum reforestasi hutan adalah US$ 1.500 per hektar (partners-rcn.org, 2017). Ini sama dengan Rp 21.224.250 dengan asumsi kurs US$ 1 sama dengan Rp 14.149,5.

Tetapi, bagaimana harga tersebut diberikan kepada rantai nilai produksi kertas? Disinilah sistem kuota pengelolaan hutan mengambil peran. Kuota disini adalah 'saham' dari persediaan hutan kita setiap tahun. Ia bisa diperjualbelikan antar pihak manapun yang ingin mengelola hutan. Sehingga, tercipta sebuah pasar instrumen yang merepresentasikan persediaan hutan di Indonesia.

Sistem berbasis pasar ini menggantikan sistem konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang berbasis korporatisme dan KKN. Dengan kata lain, koneksi 'orang dalam' tidak lagi menjadi penentu besaran hutan yang dikelola. Kuota membuat persediaan hutan, efisiensi, dan rasionalitas ekonomi menjadi basis besaran hutan yang dikelola perusahaan. Persis seperti pasar modal jadinya.

Selanjutnya, apa konsekuensi kedua solusi ini bagi pemerintah? Pertama, pemerintah memiliki sumber penerimaan dari pajak yang dikenakan pada jual-beli kuota. Kedua, Perum Perhutani sebagai holding BUMN memiliki basis penerimaan yang stabil dari jual-beli kuota. Bayangkan saja, Perum Perhutani sendiri mengelola 1.806.448 hektar hutan produksi di Indonesia (bumn.go.id, 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun