Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membedah Bung Hatta Sang "Keynesian"

12 Juli 2019   19:13 Diperbarui: 12 Juli 2019   19:17 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-mohammad-hatta-proklamator-indonesia/

Selain itu, mahzab Keynesian juga berpendapat bahwa pajak penghasilan progresif menguntungkan pertumbuhan ekonomi. Program-program bantuan yang redistributif memberikan pendapatan yang lebih besar pada orang miskin. Orang miskin memiliki hasrat mengonsumsi (MPC) yang lebih besar dibanding orang kaya. Sehingga, lebih banyak multiplier effect yang berlaku dalam perekonomian.

Masalahnya, pajak penghasilan yang terlalu progresif mematikan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menciptakan kekayaan. Inggris, contoh yang digunakan Bung Hatta, mulai mengurangi progresifitas pajak penghasilan pada tahun 1980an. Hasilnya? Penerimaan pajak justru meningkat, semakin banyak pendapatan yang diakui sebagai objek pajak, serta meningkatnya kemakmuran untuk semua.

Ketiga, pendirian koperasi konsumsi dan produksi. Kebijakan ini diterapkan untuk membangun semangat kolektif, tanggung jawab bersama, serta kemandirian di antara rakyat (hal. 331-332). Semangat kolektif dan tanggung jawab muncul dari pengelolaan koperasi yang berdasarkan keanggotaan. Sementara, kemandirian muncul dari bantuan koperasi dari konsumsi dan produksi.

Bantuan ini muncul dari kemampuan koperasi untuk mempersingkat proses distribusi. Setiap anggota terhindar dari biaya distribusi yang mahal. Sehingga, pelaku ekonomi menerima harga yang murah untuk faktor produksi dan barang konsumsi. Harga yang murah ini membantu menekan biaya produksi dan biaya hidup. Akhirnya, kemakmuran bagi seluruh rakyat dapat terwujud.

Keempat, nasionalisasi perusahaan besar dan public utilities. Pemerintah harus mengambilalih perusahaan-perusahaan besar pada sektor-sektor ekstraktif dan public utilities (hal. 333). Tujuannya, kekayaan dari sektor tersebut dapat digunakan untuk mendanai berbagai program pemerintah. Program-program inilah yang diharapkan dapat memeratakan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Maka dari itu, Bung Hatta tidak setuju jika perusahaan-perusahaan ini dikelola langsung oleh para birokrat. Pemerintah harus mempekerjakan manajemen yang kompeten pada bidangnya. Sederhananya, Bung Hatta percaya pada pengelolaan BUMN sebagai Perusahaan Umum (Perum). Ia dikelola oleh para profesional. Namun tetap berorientasi pada pelayanan publik.

Disinilah letak masalahnya. Orientasi pelayanan publik justru berujung pada menurunnya kualitas pelayanan publik. Mengapa? Sebab tidak ada motif pencarian keuntungan di dalam perusahaan. Sehingga, seluruh elemen dalam perusahaan tidak memiliki insentif untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Inilah alasan pemerintah melakukan berbagai korporatisasi sejak tahun 1980an.

Kelima, sinkronisasi sektor publik dan sektor swasta melalui perencanaan terpusat. Bung Hatta sendiri menyusun hierarki kepentingan perekonomian Indonesia sebagai berikut:

  1. Pemerintah dan BUMN
  2. Koperasi
  3. BUMS

Peran sektor swasta berfungsi secara suplementer. Ia membantu pemerintah dan koperasi jika 'kekurangan daya' (hal. 334). Selagi sektor publik dan koperasi mampu menjalankan perekonomian, sektor swasta dianggap sebagai penghias semata. Dalam model ekonomi Bung Hatta, pemerintah dan koperasi menjadi aktor utama. Sektor swasta hanya berfungsi sebagai pemain figuran.

Ibarat sebuah naskah, peran pemain figuran harus disesuaikan dengan aktor utama. Untuk itulah perencanaan terpusat dibuat. Ia menjadi 'naskah' yang menentukan cakupan peran sektor publik, swasta, dan koperasi. Bagi sektor swasta, ada kondisi-kondisi tertentu yang wajib dipenuhi dalam beroperasi (hal. 334). Sektor swasta juga harus menyesuaikan diri dengan keinginan sektor publik.

Padahal, sektor swasta memiliki produktivitas yang lebih tinggi serta lebih efisien dibandingkan sektor publik. Mengapa? Sebab ia memiliki motif mencari keuntungan yang lebih besar. Sehingga, sektor swasta justru lebih mampu dalam menciptakan kekayaan bagi kemakmuran bersama. Semestinya, sektor publik harus mengakomodasi sektor swasta, bukan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun