Disruption adalah salah satu istilah yang sering kita dengar belakangan ini. Istilah ini adalah singkatan dari disruptive innovation, yang adalah sebuah proses di mana sebuah barang dan jasa yang berawal dari pangsa pasar kelas bawah bergerak menuju ke atas, dan akhirnya menggantikan penguasa pasar (Christensen dalam claytonchristensen.com, 2018).
Definisi ini menunjukkan bahwa disruption adalah sebuah proses yang melibatkan berbagai bentuk inovasi. Inovasi ini melibatkan para pembaharu (disruptors) yang membawa fenomena masa depan ke masa sekarang (Kasali dalam Kompas.com, 2018).
Maka dari itu, Rumah Perubahan (dalam rumahperubahan.co.id, 2018) menyatakan bahwa fenomena disruption memiliki tiga karakteristik/ciri utama. Pertama, produk dan jasa yang dihasilkan lebih baik dari produk dan jasa sebelumnya. Kedua, harga dari produk dan jasa tersebut lebih murah dari produk dan jasa sebelumnya. Ketiga, produk dan jasa tersebut lebih mudah untuk diakses konsumen.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa ketiga karakteristik disruption ini adalah preseden dari berbagai manfaat yang muncul dari fenomena ini. Apa saja manfaat-manfaat tersebut? Hamid (2017:16) merangkai manfaat-manfaat tersebut sebagai berikut:
- Konsumen dipermudah dalam memenuhi kebutuhannya, dengan biaya pemenuhan kebutuhan yang lebih rendah.
- Teknologi yang memudahkan, di mana ada transfer teknologi menuju yang lebih modern.
- Mendorong persaingan berbasis inovasi yang dapat meningkatkan kualitas layanan.
- Mengurangi jumlah pengangguran, dengan adanya pembukaan lapangan kerja baru dengan upah yang lebih tinggi.
- Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di mana produktivitas meningkat karena efisiensi yang lebih tinggi.
Ketika kita tinjau lebih dalam, manfaat-manfaat di atas akan dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat dalam jangka panjang. Namun, ada satu kelompok demografi yang merasakan manfaat terbesar dari disruption. Kelompok demografi tersebut adalah generasi millenial.
Generasi Millenial adalah sebuah kelompok demografi dengan anggota yang lahir pada tahun 1980an sampai tahun 2000an awal (Main dalam livescience.com, 2017). Â Generasi ini adalah generasi pertama di dunia yang selalu terhubung dengan teknologi (always-connected generation). Sehingga, generasi ini memiliki beberapa karakteristik yang menonjol di masyarakat. Berikut adalah karakteristik-karakteristik tersebut (KPMG, 2017:5-6):
- Memiliki rasa penasaran yang tinggi.
- Suka berpindah-pindah tempat pekerjaan.
- Mudah menerima dan merangkul perbedaan di sekitarnya.
- Sangat menggemari dan mengerti teknologi.
- Menuntut adanya keseimbangan waktu pekerjaan dan pribadi.
- Memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam mengutarakan pendapatnya.
Lalu, mengapa generasi millenial menikmati manfaat terbesar dari disruption? Ini terjadi karena generasi ini sarat akan karakter seorang disruptor. Bahkan, generasi ini memiliki karakteristik disruptor yang lebih menonjol dibanding generasi-generasi sebelumnya. Ini sangat terlihat rangkaian karakteristik di atas.
Sehingga, disruption membawa perubahan yang mendorong kemajuan negeri ini, dengan generasi millenial sebagai disruptors. Namun, apakah disruptors baru muncul di Indonesia pada masa ini? Tidak. Sepanjang sejarah, sudah muncul banyak disruptors yang mendorong kemajuan negeri ini dengan berbagai aksi-aksi mereka. Siapakah disruptors ini?
Mereka adalah para pahlawan dan pejuang nasional yang telah mendahului kita. Dalam konteks ini, para pahlawan dan pejuang nasional kita adalah disruptors. Aksi-aksi heroik yang mereka lakukan atas dasar heroisme adalah disruption. Para kolonialis dan imperialis adalah penguasa lama yang harus digantikan. Terakhir, pemerintahan sendiri yang berdaulat adalah produk dari disruption tersebut. Parallel dengan generasi millenial, bukan?
Keduanya sama-sama mewujudkan heroisme mereka dengan menjadi disruptors. Namun, cara mewujudkannya sudah berbeda. Generasi millenial adalah generasi yang kekinian. Sehingga, heroisme yang mereka wujudkan adalah heroisme kekinian.
Dengan demikian, penulis menyadari betapa pentingnya arus fenomena disruption sebagai media penyaluran heroisme generasi millenial Indonesia. Maka, penulis mengambil topik ini sebagai topik esai penulis, untuk mengkaji arus fenomena disruption sebagai wujud heroisme kekinian generasi millenial Indonesia, dan akibat yang muncul dari arus fenomena disruption tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, mari kita kupas topik-topik di atas secara simultan dan mendalam. Menurut analisis penulis, terdapat tiga manifestasi arus fenomena disruption yang menjadi wujud heroisme kekinian generasi muda. Berikut adalah manifestasi-manifestasi tersebut.Â
Pertama, menjamurnya peer to peer lending (P2P Lending) yang merevolusi model permodalan dalam berbagai sektor perekonomian. Mulai dari sektor UMKM, pertanian, hingga start-up sudah merasakan dampak dari munculnya platform baru ini. Mengapa P2P lending bersifat disruptive? Mari kita tinjau definisi istilah ini.
Jackson (2016:2) menyatakan bahwa peer to peer lending adalah sebuah pasar di mana para peminjam individu/institusi bisa mendapatkan investasi langsung dari investor-investor ritel maupun institusi, tanpa adanya lembaga keuangan resmi sebagai perantara transaksi. Definisi ini menunjukkan secara eksplisit bahwa P2P lending mendisrupsi model permodalan dalam perekonomian dengan adanya eliminasi dari lembaga keuangan resmi sebagai middlemen.
Lalu, bagaimana P2P lending dapat menjadi wujud heroisme kekinian generasi millenial? Penjelasan di atas menunjukkan bahwa peer to peer lending adalah disruptor yang mempermudah proses permodalan bagi investor dan peminjam, terutama bagi generasi millenial. Mengapa demikian?
Pertama, millenials belum memiliki penghasilan yang besar. Sejumlah 83% dari kelompok demografi ini memiliki rata-rata penghasilan Rp 7,5 juta/bulan (Fauzie dalam cnnindonesia.com, 2017).  Kedua, millenials adalah generasi yang paling terhubung dengan internet di Indonesia. Bahkan, 49,54% pengguna internet di Indonesia adalah millenials (kumparan.com, 2018). Sehingga, P2P lending jelas sangat mengakomodir dua kecenderungan ini.
Sehingga, melalui P2P lending, generasi millenial Indonesia dapat menciptakan sebuah interdependensi ekonomi antar individu, baik sebagai investor maupun peminjam. Melalui interdependensi ini, generasi millenial Indonesia dapat saling berkolaborasi satu sama lain untuk mencapai keuntungan. Kolaborasi ekonomi (sharing economy model) inilah yang menjadi wujud heroisme kekinian generasi millenial Indonesia.
Ketika kolaborasi ekonomi tercipta, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Mengapa? Melalui platform ini, generasi millenial Indonesia dapat menjadi pahlawan pemberdaya ekonomi (economic empowerment) bagi negeri ini. Selanjutnya, pemberdayaan ini memberikan kesempatan bagi pelaku ekonomi di berbagai sektor untuk berkembang. Ketika kesempatan untuk berkembang meluas, maka terwujud keadilan sosial dalam bentuk equal opportunity.
Kedua, munculnya donation-based crowdfunding (penggalangan dana berbasis donasi) yang mengubah cara kita dalam melakukan kegiatan filantropi. Dalam konteks ini, platform ini mengubah model filantropi yang ada. Mengapa? It brings philantrophy to the masses. Bagaimana bisa?
Donation-based crowdfunding adalah upaya untuk mendanai suatu proyek/gerakan sosial dengan menghimpun dana dari banyak individu (Investopedia.com, 2018). Masing-masing individu dapat melakukan donasi mulai dari jumlah yang kecil, bahkan mulai dari Rp 10.000. Sehingga, kegiatan filantropi bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk generasi millenial.
Maka, disruption yang muncul dari platform ini memampukan generasi millenial Indonesia untuk menjadi pahlawan pembela kemanusiaan. Mengapa? Terbukanya kesempatan bagi generasi millenial untuk menjadi filantropis membuat dukungan moral dan material terhadap proyek/gerakan sosial meningkat. Sehingga, kemampuan proyek/gerakan sosial di masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia juga semakin tinggi.
Jika penjelasan di atas benar-benar terjadi di lapangan, maka kemanusiaan yang adil dan beradab akan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Akibat ini muncul dari upaya peningkatan kualitas hidup manusia, yang adalah cara terbaik untuk memanusiakan individu. Ketika individu berhasil diperlakukan secara manusiawi, maka muncul aktualisasi keadilan dalam hidupnya. Akhirnya, aktualisasi ini mendukung pembentukan sebuah masyarakat yang beradab.
Ketiga, timbulnya smart city (kota pintar) yang berhasil merombak pola pengelolaan kota di berbagai wilayah Indonesia. Perombakan ini membawa arus disruption yang deras bagi sektor birokrasi pemerintahan daerah. Kini, anggota masayarakat dapat memberikan berbagai keluhan dan laporan secara langsung kepada pemerintah. Birokrasi antara warga dengan pemerintah pun terpangkas.
Pemangkasan ini terjadi dari adanya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik (Rouse dalam internetofthingsagenda.techtarget.com, 2017). Ini membuka kesempatan bagi generasi millenial sebagai always-connected generation untuk menyampaikan berbagai permasalahan nyata di lapangan.
Adanya kesempatan ini mendorong generasi millenial untuk menjadi pahlawan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Kedua prinsip ini adalah kunci berlakunya aktualisasi demokrasi yang sehat pada masyarakat Indonesia. Mengapa? "A basic tenet of healthy democracy is open dialogue and transparency," tegas Peter Fenn. Transparansi adalah kunci kejelasan hubungan pemerintah-masyarakat, dan dialog terbuka adalah kunci tanggung jawab langsung pemerintah terhadap masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Clayton Christensen Institute. 2018. Disruptive Innovation. http://www.claytonchristensen.com/key-concepts/. Diakses pada 6 November 2018.
Fauzie, Yuliyanna. 2017. Menghitung Gaji 'Anak Nongkrong' Millenials untuk Beli Hunian. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170819183723-83-235928/menghitung-gaji-anak-nongkrong-millenials-untuk-beli-hunian. Diakses pada 13 November 2018.
Hamid, Edy Suandi. 2017. Disruptive Innovation: Manfaat Dan Kekurangan Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi. https://law.uii.ac.id/wp content/uploads/2017/07/2017-07-27-fh-uii-semnas-disruptive-innovation-manfaat-dan-kekurangan-dalam-konteks-pembangunan-ekonomi-Edy-Suandi-Hamid.pdf. Diakses pada 8 November 2018.
Investopedia.com. 2018. Donation-Based Crowd Funding. https://www.investopedia.com/terms/d/donationbased-crowd-funding.asp. Diakses pada 13 November 2018.
Jackson, Kyle. 2016. A Detailed Look into Peer to Peer Lending. Â https://www.econ.berkeley.edu/sites/default/files/KyleJacksonHonorsThesis.pdf. Diakses pada 13 November 2018.
Kasali, Rhenald. 2017. Meluruskan Pemahaman soal "Disruption". https://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disruption. Diakses pada 6 November 2018.
KPMG. 2017. Meet the Millennials. https://home.kpmg.com/content/dam/kpmg/uk/pdf/2017/04/Meet-the-Millennials-Secured.pdf. Diakses pada 9 November 2018.
KumparanTECH. 2018. Generasi Millenial Dominasi Pengguna Internet di Indonesia. https://kumparan.com/@kumparantech/generasi-millenial-dominasi-pengguna-internet-di-indonesia. Diakses pada 13 November 2018.
Rouse, Margaret. 2017. Smart City. https://internetofthingsagenda.techtarget.com/definition/smart-city. Diakses pada 13 November 2018.
Rumah Perubahan. 2017. Millennials dan Disruption. http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2017/05/16/millennials-dan-disruption-jawapos/. Diakses pada 6 November 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI