Adakah katamu ingat Jogja, yang di mata beberapa manusia hanyalah sesuatu yang berlebihan, padahal mereka hanya melihat kulit ari dari semesta bernama kota. Â Di sana malam sangat tergesa-gesa sampai tiba-tiba saja menuju waktu tengahnya, sampai entah berapa ratus langkah terpijak dan terpasak di sana, di berbagai sudut yang tak henti menerima kita seadanya dan senaif-naifnya.
Mungkin sebenarnya aku seringkali terlihat sedikit lelah melihat rona wajahmu yang sering berubah, ah itu bukanlah seperti yang selalu kau ungkapkan diam-diam saat merenangi waktu. Â Atau saat mengembara ke tempat-tempat yang katamu de ja vu, sementara di sisi waktu lain aku justru menapak pasir halus pantai dan langit biru merata dan matahari yang sedang berjaya.
Atau mungkin hanya teringat kota-kota kecil yang penduduknya seakan-akan tak kemana-mana dan yang itu-itu saja, berputar-putar di pusaran dan kita ada di inti tengahnya, saling mengejar dan sering terkapar. Â Sebentar pagi dan kemudian matahari meninggi, untuk diam-diam tenggelam.
Semua akan kembali, katamu. Â Cepat, lambat, terpaksa ataupun sepenuh daya. Seperti sebaris hujan yang turun sebentar untuk entah kenapa kembai menghilang, menyisakan langit yang abu berpadu kelam. Di sana Jogja, atau pun di sini kota, hanyalah suaka, yang mengurung keinginan-keinginan semelesat kereta. Â Bukankah itu yang selalu kau harap?
Semoga saja tak pernah ada lagi derita, atau aku yang hanya ingin terlampau bercerita, tiba-tiba dan pelan kepada dunia.