Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Dosen - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tak Sengaja Mencoba Arak di Perkampungan Dayak

12 November 2022   14:24 Diperbarui: 12 November 2022   14:58 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ceritanya sekitar delapan tahun silam, saat tiba-tiba seorang kawan pesepeda di Jogja mengajak untuk ikut serta dalam sebuah proyek penelitian tentang sebaran bambu di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.  Saya pun langsung antusias menyanggupinya, karena walaupun saya tinggal di Kalimantan, seumur-umur belum pernah menginjakkan kaki di provinsi sebelah barat pulau itu.

Perjalanan dimulai dengan naik pesawat dari bandara Adisucipto ke bandara Supadio di Kubu Raya, untuk kemudian transit dengan menggunakan pesawat berbaling-baling ke bandara Pangsuma di Kecamatan Putussibau Selatan.  Dari Putussibau perjalanan dilanjutkan lagi naik mobil ke tempat menginap saat kegiatan penelitian dilakukan. 

Kami menginap di penginapan merangkap rumah makan. Namanya rumah makan Mataso yang letaknya di tengah jalan Trans Kalimantan, tepatnya di seberang Kecamatan Embaloh Hulu, sekitar 94 km dari Putussibau sekitar 67 km menuju  Kecamatan Badau yang terdapat pos lintas batas negara dengan Malaysia.  

Kegiatan penelitian selama kurang lebih seminggu itu terasa menyenangkan karena nyaris setiap hari kerjaannya adalah melintasi sungai dan mendata populasi bambu beserta data terkait seperti species yang ada serta sebarannya.  Menyusuri sungai tentu saja menggunakan perahu motor dari kayu, kebetulan yang jadi pengemudi adalah lelaki dari suku dayak setempat yang tinggalnya masih di rumah betang.

Rumah betang adalah rumah dari kayu yang memanjang yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga.  Mirip konsep rumah couple di perkotaan yang berdempet-dempet, bedanya atapnya juga nyambung, begitu pula dengan terasnya.  Saya lupa persisnya panjang rumah betang yang sempat dikunjungi, sepertinya sekitar 50 meter lebih.

foto rumah betang dari bombasticborneo.com
foto rumah betang dari bombasticborneo.com

Saat mengunjungi permukiman suku dayak di situ, yang didominasi oleh suku dayak Tamambaloh, kebetulan sedang ada acara ritual.  Kami pun diundang untuk menghadiri semacam pesta kenduri terkait akan beroperasinya sebuah mesin genset.  Lupa persisnya untuk penerangan atau apa, karena listrik di Embaloh menggunakan tenaga listrik yang pembangkitnya ada di Badau, dan cuma beroperasi sejak jam 6 sore sampai pukul 6 pagi.

Di acara tersebut diedarkan nasi pulut, semacam lemang yang terbuat dari ketan di dalam bambu yang dibakar.  Bedanya adalah diameter bambunya yang cukup kecil, mungkin sekitar 3-4 cm saja.  Selain itu juga beredar nampan yang di atasnya diletakkan bergelas-gelas arak beras, minuman fermentasi yang juga berbahan beras ketan.

Sebenarnya jika tahu adat istiadat setempat, arak beras yang diedarkan tidak wajib untuk diminum oleh tamu dan undangan yang hadir. Cukup dengan menyentuh gelas yang berisi arak, maka sudah dianggap menghormati tawaran dari tuan rumah empunya acara.

Masalahnya adalah saat itu, tangan saya sudah keburu memegang gelas berisi minuman fermentasi tersebut, begitu juga dengan beberapa kawan rombongan peneliti.  Kalau sudah terlanjur dipegang, itu artinya harus menghabiskannya.  Untunglah isinya cuma sekitar setengah gelas, jadinya tak apa-apa demi menghormati mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun