Hari itu cukup terik, lewat tengah hari sudah, tapi panasnya tersamarkan oleh dua Tabebuya yang sedang mekar di kiri kanan pintu masuk kantin kampus, beberapa jejak kuning cerah bunganya terlihat tersebar random di rumput manila yang menghijau dan sepertinya baru dirapikan.Â
Empunya kantin memang rajin, sekaligus punya prespektif estetika yang bagus, kantin sederhana dengan menu yang tidak banyak namun vatiatif, selalu menjadi favorit anak-anak peternakan dan sosial yang entah bagaimana caranya kampusnya bisa berdekatan.
Lelaki muda yang sedang membaca di sudut, di depan meja tectona itulah Marwan Prancalaya, dia biasa menyingkat namanya menjadi M. Pranca begitu saja, lebih keren menurut persepsinya.
Walau ada asisten dosen yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu semena-mena memanggilnya pak Marwan, asisten dosen yang seorang perempuan, yang sukanya pakai jins dan baju kotak-kotak serta rambut sebahu yang diikat seadanya, tapi anehnya.. cantik. Diam-diam pikiran itu menghentikan bacaannya, bahan kuliah nanti petang.
Dan perempuan yang sedang dipikirkan Pranca sedang menuju ke arahnya, sesuai janji lewat seutas pesan yang diterimanya kemari sore. Ada sesuatu yang penting, yang harus kita bicarakan.
Kita? Kata yang sempat bikin keningnya mengernyit Tapi pikiran itu teralihkan oleh tapak sepatu kets yang mendekat.
"Halo, sibuk ya, pak?" telapak tangannya mengulur, sambil tersenyum, kaku.
"Ngga, Pra. Silakan duduk," Menggeser kursi kedua, dan memang cuma ada dua kursi di sudut utara itu.
"Pra?" Kening Hiro berkerut.
"Hironisa Pratiwi, kan?, lebih enak memanggilmu Pra, daripada Hiro.. jadi teringat sesuatu soalnya.."
"Apa itu, pak?"