Mohon tunggu...
Abdur Razak
Abdur Razak Mohon Tunggu... -

sederhana

Selanjutnya

Tutup

Money

Evaluasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai

20 Juni 2011   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI

Oleh: Abdur Razak (3604100064)

Latar Belakang

BLT sebagai program konpensasi jangka pendek yang tujuan utamanya adalah menjaga agar tingkat konsumsi RTS, yaitu rumah tangga yang tergolong sangat miskin, miskin, dan dekat miskin/near poor, tidak menurun pada saat terjadi kenaikan harga BBM dalam negeri. Dengan demikian, walaupun program BLT bukan satu-satunya program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, namun diharapkan dapat mendorong pengurangan tingkat kemiskinan pada saat terjadi penyesuaian harga-harga kebutuhan pokok menuju keseimbangan yang baru (Departemen Sosial RI, 2008 :5) Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah sejumlah uang tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah tangga yang perlu dibantu agar kesejahteraannya tidak menurun jika harga BBM dinaikkan. sedangkan pengertian RTS adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin (Departemen Sosial RI, 2008 :6)

Penyaluran BLT tahap pertama (Juni-Agustus) mencapai jumlah realisasi bayar 18.832.053 Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan jumlah realisasi rupiah sebesar Rp. 5.694.615.900.000. Artinya daya serapnya mencapai 99,02 persen dari jumlah RTS sebanyak 19.020.763 RTS. Provinsi dengan penyaluran tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,87 persen, sedangkan provinsi dengan penyaluran terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 83,53 persen. Penyaluran BLT tahap kedua (September-Desember) mencapai jumlah realisasi bayar 18.778.134 RTS dengan jumlah realisasi rupiah sebesar Rp. 7.511.253.600.000. Artinya daya serapnya mencapai 98,74 persen dari jumlah RTS. Provinsi dengan penyaluran tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,72 persen, sedangkan provinsi dengan penyaluran terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 83,32 persen.

Tujuan BLT

Tujuan dari Program Bantuan Langsung Tunai bagi Rumah Tangga Sasaran dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM adalah:

1.Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya;

2.Mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi.

3.Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama (Departemen Sosial RI, 2008:7).



Rumusan masalah

Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat kurang mampu?

Kriteria Evaluasi

Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analis menggunakan tipe criteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Pada evaluasi program BLT ini, tipe kriteria yang digunakan antara lain:

·Efektivitas: apakah hasil akhir yang diharapkan (outcomes) dari program BLT telah dicapai?

·Efisiensi: seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (outcomes)?

Pendekatan Evaluasi

Bentuk evaluasi yang digunakan dalam evaluasi program BLT ini adalah evaluasi formal. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan. Atas dasar itulah, bentuk evaluasi yang digunakan dalam evaluasi kebijakan/program BLT ini bertolak dari tujuan awal program tersebut, yakni Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, serta Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.

Evaluasi kebijakan

Pemberian bantuan langsung tunai sering mendapat kritikan tajam dari masytarakat hal itu dikarenakan tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan langsung tunai. Kriteria masyarakat yang mendapat bantuan langsung tunai yaitu berdasarkan data dalam badan pusat statistic. pendataan tersebut memang dilakukan untuk mendapatkan data rumah tangga miskin, yang nantinya akan diberikan BLT, berbicara mengenai DATA, tidak akan pernah lepas dari sekian persen ERROR, yang bagi orang awam adalah kesalahan yg tidak dapat ditolerir, BPS pun dijadikan kambing hitam, jajaran BPS berdasarkan metodologi dan kreteria yang dipegang tentu tidak dapat dipersalahkan begitu saja, banyak aspek. Tahun 2008 rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM sudah padah tahap final, BLT pun tetap menjadi pilihan pemerintah untuk memberikan subsidi BBM kepada rumah tangga miskin, Data BPS (yang ditahun 2005 dihujat habis) tetap menjadi satu-satunya pilihan, celakanya kartu BLT yang dicetak berdasarkan data 2005, hal ini terjadi karena pemerintah tidak mempunyai persiapan sebelumnya bahwa akan harus menaikan harga BBM di tahun 2008, sehingga belum sempat menurunkan dana untuk BPS melakukan pendataan. Sekali lagi BPS menjadi kambing hitam, data 2005 dicari kelemahannya kemudian di beritakan di media masa.

Kemudian bagaimana dengan program BLT Plus? Seharusnya pemerintah berkaca dari pelaksanaan program BLT yang telah dilakukan beberapa tahun lalu. Pada praktiknya, BLT tidak efektif menjangkau rakyat miskin dan menimbulkan berbagai masalah di lapangan. Apa saja ketidakefektifan penyaluran BLT?

Pertama, BLT tidak memiliki efektifitas dari segi penyaluran di lapangan. Kita sering menjumpai kasus pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran. Misalnya, rumah miskin justru tidak mendapatkan bantuan namun rumah tangga yang lebih mampu mendapatkan bantuan. Barangkali pemerintah dapat menanggap bahwa ini bersifat kasuistik. Namun pada praktiknya, kesalahan penyaluran bantuan berawal dari data yang tidak jelas dan menimbulkan gesekan di masyarakat. Hingga sekarang, tidak pernah dilakukan pendataan dan pencacahan ulang tentang data rumah tangga miskin tersebut.

Kedua, besarnya BLT Plus yang sama dengan BLT pada tahun 2005. Jika kita berpikir menggunakan logika, tentu saja tidak masuk akal. Faktor inflasi, kenaikan biaya hidup dan menurunnya daya beli masyarakat mestinya dipertimbangkan dalam memperhitungkan besarnya bantuan. BLT Plus memang sedikit berbeda dengan BLT, yaitu terdapat tambahan barang kebutuhan pokok. Namun BLT Plus tentu saja tidak akan cukup untuk meng-counter kenaikan biaya hidup pada saat ini. Belum lagi jika kita berpikir tentang inflasi yang akan terjadi akibat kenaikan harga BBM, yang tentu saja akan menambah beban masyarakat miskin.

Ketiga, dalam masalah sosial, BLT menyebabkan moral hazard, dimana BLT dapat menurunkan mental masyarakat dan tidak mendidik secara jangka panjang. Terdapat sebagian masyarakat yang pada akhirnya mengaku miskin karena ingin mendapatkan bantuan. Mereka bangga dengan ’cap miskin’ demi memperoleh rupiah tertentu. Mental masyarakat akan menjadi buruk dengan program BLT.

Keempat, penyaluran BLT bermasalah karena tidak didukung dengan kelembagaan yang baik. Penerapan BLT secara terburu-buru dan tidak disertai dengan kesiapan aparat pemerintah tentu saja akan berakibat tidak efektifnya penyaluran BLT.

Dampak yang ditimbulkan

Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis, terdapat perbedaan antara prioritas pengeluaran masyarakat miskin untuk kebutuhan dan keinginan. Dampak BLT terhadap kesejahteraan ini terlihat pada prioritas masyarakat miskin dimana prioritas penggunaan uang BLT paling utama adalah SEMBAKO. Hal ini menunjukkan bahwa BLT belum efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat miskin karena prioritas utama dari BLT tersebut masih untuk kebutuhan dasar. Namun, BLT tersebut memiliki manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat miskin terutama dalam pemenuhan kebutuhannya. Selain itu, BLT tidak berpengaruh terhadap kinerja masyarakat miskin karena masyarakat miskin tidak bisa hidup jika hanya menggantungkan penerimaannya pada BLT, tetapi untuk beberapa kasus masyarakat miskin tergantung dengan BLT tersebut.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.

Analisis dampak

Bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin untuk mensiasati kenaikan BBM malah menimbulkan beberapa dampak. Antara lain yaitu menyebabkan pertikaian antar individu, hal itu terjadi karena tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan langsung tunai,karena yang menentukan adalah data dari badan pusat statistik. Masalah yang ditimbulkan adalah data dari BPS banyak yang tidak valid, misalnya ada beberapa masyarakat yang tergolong mampu malah mendapatkan bantuan langsung tunai dan sebaliknya banyak masyarakat yang tidak mampu malah mendapat bantuan langsung tunai. Masalah ini timbul karena BPS hanya mengambil data dari tahun 2005, tidak melakukan pendataan ulang yang dikarenakan menghemat biaya pengeluaran. Sehingga banyak terjadi kesalahan-kesalahan dalam pendataanya. menggunakan data 2005 (yang diketahui memiliki beberapa kelemahan) untuk BLT 2008 adalah menoreh luka baru di atas luka lama, hal ini hendaknya menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia, BPS dan Pemerintah khususnya. Perlunya sebuah tatanan yang baik dalam upaya menyediakan DATA secara terus menerus dan update, penyediaan data yang update dan sistematis, tentu memerlukan sebuah sistem yang ditopang oleh teknologi dan SDM yang memadai, selain sumber daya manusia juga sarana dan prasarana yang memadai dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data, sudah saatnya pemerintah memerhatikan pembangunan SDM dan IT BPS, jika tanpa ini semua data lama akan menjadi masalah baru terus-menerus.

Penduga parameter rumah tangga tinggal di pedesaan (rural) menunjukan rasio odd sebesar 1.765, artinya rumahtangga yang tinggal di pedesaan kemungkinan untuk menerima BLT lebih besar 1.765 kali dibandingkan rumahtangga di perkotaan. Sedangkan untuk rumahtangga yang dikepalai wanita ternyata peluang untuk menerima BLT lebih besar 2.42 kali dibandingkan rumahtangga dengan kepala rumahtangga laki-laki. Sedangkan untuk rumahtangga dengan kepala keluarga bekerja ternyata peluang untuk menerima BLT hampir sama (0.94 kali) dengan rumahtangga yang kepala rumahtangganya tidak bekerja. Rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang berumur diatas 50 tahun ternyata mempunyai peluang menerima BLT lebih tinggi 1.27 kali dibandingkan kepala rumahtangga berumur dibawah atau sama dengan 50 tahun. Kelompok rumah tangga miskin juga punya peluang mendapatkan BLT lebih besar 2.40 kali dibandingkan rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga dengan luas lantai perkapita kurang dari 10 m2 juga mempunyai peluang lebih besar 2.18 kali dibandingkan rumahtangga dengan luas lantai perkapita lebih dari 10 m2. Rumahtangga dengan rumah berlantai tanah ternyata berpeluang menerima BLT lebih besar 2.77 kali dibandingkan rumahtangga dengan lantai bukan dari tanah. Rumahtangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak juga berpeluang menerima BLT lebih besar 2.43 kali dibandingkan rumah tangga yang sudah tidak menggunakan kayubakar.

Dampak lain yaitu bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan tujuan memberikan subsidi kepada masyarakat atas kenaikan BBM malah digunakan masyarakat untuk kebutuhan yang mendasar,hal ini menjadi bukti bahwa pemberian subsidi BBM kepada masyarakat miskin lewat bantuan langsung tunai masih belum evektif. Berkaca pada kebijakan BLT di masa lalu (kebijakan BLT tahun 2005) banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :

1)Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin.

2)Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.

3)Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.

4)Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.

5)Peran aktif masyarakat yang kurang/minim, sehingga optimalisasi kinerja program yang sulit direalisasikan.

6)Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin

Kesimpulan

Hasil pengamatan kami menunjukkan bahwa waktu yang terbatas pada saat tahap perencanaan menyebabkan program pelaksanaan BLT terkesan “dipaksakan”. Keterbatasan waktu tersebut turut memengaruhi keberhasilan pelaksanaan masing-masing tahapan dan keseluruhan program. Dalam penargetan ditemui adanya kesalahan sasaran meskipun dalam tingkat yang relatif rendah. Hal ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima BLT dan adanya rumah tangga miskin yang belum menjadi penerima.

Adanya kesalahan sasaran yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai, khususnya tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu munculnya ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman, hingga pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan ancaman biasanya ditangani oleh kepala desa/lurah dibantu oleh aparat  kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota dan kecamatan serta BPS juga turun tangan.

Kemudian, BLT yang sudah pernah dilakukan yakni pada tahun 2005 bisa dianggap gagal, jadi seharusnya pemerintah bisa berkaca pada kegagalannya terdahulu, seharusnya mengapa harus dilakukan kembali dengan adanya BLT Plus pada 2008 yang kemungkinan bisa juga gagal. Bisa kita simpulkan bahwa walaupun BLT Plus merupakan sebuah program baik yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan ingin mensejahterakan masyarakatnya terkait menghadapi dampak naiknya minyak dunia, bisa dikatakan merupakan program gagal yang dilakukan oleh pemerintah, karena terbukti terdapat banyak sekali kelemahannya dalam penerapannya dan dilapangan sendiri kita mengetahui bahwa banyak sekali masyarakat yang tidak puas terhadap BLT Plus tersebut. Dan semoga saja tidak ada BLT yang ketiga nantinya, cukup dua kali saja

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun