Tepat satu hari setelah memperingati Kebangkitan Yesus Kristus, kabar duka datang dari Vatikan. Sri Paus Fransiskus meninggal dunia, informasi itu diumumkan oleh Kardinal Kevin Farrell pada Senin Paskah (21/4). Dirinya bertindak sebagai Kepala Takhta Suci Vatikan sementara sebelum Paus baru dipilih secara definitif melalui Konklaf Kepausan selanjutnya.
Kepulangan Sri Paus tentu saja membawa awan mendung bagi 1,3 milyar umat katolik di seluruh dunia. Selain itu, cukup banyak tokoh lintas agama yang merasa kehilangan dan menyampaikan pesan belasungkawa. Pasalnya, Paus Fransiskus menjadi sebuah anomali di kalangan rohaniawan---ia dipandang terlalu progresif dan sekuler menurut rekan sejawatmya.
Banyak kaum konservatif gereja yang mengkritisi langkah Sri Paus dalam menanggapi berbagai isu sensitif seperti komentarnya terhadap kelompok minoritas seksual, persetujuannya terhadap sinodalitas, mengkritik budaya elitisme gereja dan keprihatinan terhadap masalah global seperti kemiskinan, perubahan iklim, krisis imigran dan bahaya kapitalisme.Â
Rekan sejawatnya menganggap Sri Paus terlalu sibuk mengurusi masalah duniawi alih-alih menjadi pekerja apostolik yang berkewajiban mengurusi masalah rohani.Â
Namun, pendekatan inklusif ini justru lebih diterima oleh masyarakat modern dan pesan-pesannya meluas secara universal sehingga meninggalkan kesan baik bagi banyak orang selain daripada umat katolik itu sendiri.
Laudato Si' sebagai Lonceng Peringatan bagi Segenap Umat Manusia
Seperti yang kita ketahui, planet bumi telah menghadapi perubahan radikal pasca-revolusi industri. Konsep pemanasan global terlalu basi untuk diadopsi, sehingga telah menjadi sebuah peringatan usang karena yang kita hadapi sekarang mengarah pada suatu "pendidihan" global---lebih dari sekadar pemanasan.Â
Hal itulah yang mengilhami Sri Paus menulis sebuah ensiklik fenomenal, yaitu Laudato Si' yang diterbitkan pada tahun 2015. Dokumen gerejawi ini memuat berbagai peringatan Paus Fransiskus mengenai problematika masyarakat modern, khususnya perubahan iklim.
Dalam ensikliknya, Sri Paus secara eksplisit menyalahkan ketamakan manusia dalam mengekstraksi sumber daya alam tanpa mengidahkan dampak sistematis yang akan ditimbulkan. Dirinya dengan tegas mengatakan bahwan berbagai bencana yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh kehendak Tuhan, tetapi merupakan bagian dari kelalaian manusia sendiri yang terus membiarkan bumi digerogoti oleh kerusakan.
Kita telah tumbuh berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasa bumi, yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati manusia yang terluka oleh dosa juga tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat di tanah, di air, di udara dan di semua bentuk kehidupan. (Laudato Si' §2)
Bagian ini jelas menggambarkan keangkuhan manusia dalam mengambil segala sesuatu yang ada di bumi. Sebagai satu-satunya makhluk yang berakal, manusia seolah-olah bertindak selayaknya penguasa absolut sampai melupakan nasib makhluk hidup lain.Â