Mohon tunggu...
Raynaldo Chandra
Raynaldo Chandra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

work hard and play hard, trust me it works

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumah Bersejarah yang Terlupakan

11 Mei 2014   09:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangsa Indonesia memiliki banyak situs peninggalan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa perjuangan Bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Di balik banyaknya situs peninggalan sejarah, terdapat sebuah situs yang terlupakan dan terkesan diabaikan. Padahal jika kita menilik sejarahnnya, situs ini cukup berperan penting dalam memuluskan langkah Bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekannya. Pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi sebuah Peristiwa Rengasdengklok, dimana terjadi peristiwa penculikan terhadap Soekarno dan Hatta yang dilakukan oleh golongan muda. Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Proklamasi-pun disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong, seorang petani kecil keturunan Tionghoa, dan di tempat itu pula Bendera Merah Putih pertama kalinya dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Rumah bersejarah yang digunakan sebagai tempat tinggal Soekarno-Hatta dalam masa penculikan terdapat di Dusun Bojong. Rumah yang kini bercat kuning dan hijau merupakan rumah dari Bapak Djiaw Kie Siong. Djiaw adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa. Ia hidup sederhana dengan mencari nafkah sebagai petani, dan hingga pada akhirnya seorang petani kecil tersebut merelakan rumahnya menjadi persinggahan para tokoh pergerakan yang kelak akan menjadi “Bapak Bangsa”. Hingga kini rumahnya masih dihuni oleh keturunannya, rumahnya ditempati oleh Nyonya Iin alias Djiaw Kwin Moy, Nyonya Iin merupakan cucu dari Bapak Djiaw, dan anak dari Nyonya Tiaow Siong. Kini Nyonya Iin menempati rumah tersebut bersama suaminya yang bernama Yayang.

Nyonya Iin mengatakan bahwa rumah yang sekarang di dusun bojong ini merupakan pindahan yang awalnya dari pinggiran Sungai Citarum. “Tahun 58, Citarum sedang ada pelebaran sungai dan rumah ini jadi menjadi tergusur, karena rumah ini merupakan rumah bersejaran makanya dipindahkan ke Dusun Bojong ini,” kata Nyonya Iin. Nyonya Iin pun menambahkan bahwa pada tahun 1964 Babah Djiauw (sebutan untuk laki-laki Tionghoa) meninggal, dan rumah bersejarah ini diwariskan kepada Ibunya yakni Nyonya Tiaw Siong. Wanita yang kesehariannya berjualan kue di Pasar Rengasdengklok juga meceritakan bahwa ketika Babah Djiaw Kie Siong masih hidup, sejumlah perkakas rumah yang dulu pernah dipakai Soekarno sekeluarga, Hatta, dan para tokoh lainnya diambil oleh pihak museum Jawa Barat. Seperti dua perangkat tempat tidur terbuat dari kayu jati, tempat tidur Soekarno dan Hatta, seperangkat tempat minum dan seperangkat meja kursi tempat duduk para tokoh. Sayangnya, Babah Djiaw yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani kecil tidak sepeser pun mendapat ganti rugi saat barang-barang miliknya itu diambil pihak museum.

"Engkong (kakek) Djiaw rela semua perkakas rumah diabadikan sebagai benda bersejarah. Saat rumah pindah dari pinggir Sungai Citarum, engkong membangun rumah di Dusun Bojong sangat hati-hati supaya keasliannya tetap terjaga, semua biaya bangun rumah dari hasil jerih payah engkong, tanpa ada bantuan pemerintah,” kata Yayang, suami Nyonya Iin. Yayang pun menambahkan “Engkong pernah kasih wasiat, katanya keluarga yang tinggal di rumah bersejarah itu harus sabar. Gak boleh merengek minta bantuan ke pihak siapapun, harus rela ikhlas jika ada tamu yang datang dan ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa," tutup pria yang kesehariannya berjualan toko kelontong di Pasar Rengasdengklok.

Nyonya Iin mengatakan bahwa sebagai rumah bersejarah, seluruh bangunan rumah yang berdinding kayu jati, beratap genting tua, dan beralaskan batu bata itu, tak boleh diperbaiki apalagi diubah seenaknya. Pelarangan itu muncul karena kekhawatiran nilai keaslian rumah itu punah. Anehnya, dari dulu hingga sekarang, pemerintah hanya cukup memberikan nama rumah bersejarah yang harus dilestarikan. Di luar itu sama sekali tak pernah ada perhatian bagi si pemiliknya. Pada saat pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, rumah bersejarah ini sekali lagi tidak mendapatkan perhatian apa pun dari pemerintah. Malah, Nyonya Tiaw sempat tidak dibolehkan menerima tamu siapa pun yang ingin tahu rumah bersejarah itu. "Pihak keluarga sangat ingin rumah ini direnovasi soalnya banyak banget bagian yang rusak, jika melakukan renovasi biayanya kami juga gak akan minta, kami akan renovasi dengan biaya kami sendiri, tapi ya begitulah, harus izin dulu dan izinnya pun juga susah, bahkan sampai akhirnya rumah ini dilarang renovasi, alasannya keaslian dari rumah ini bisa berkurang, tapi kita sebagai orang yang tinggal disini-kan khawatir, kalau keadaan rumah terus dibiarkan seperti ini bisa – bisa ambruk rumah" kata Nyonya Iin dengan pasrah.

Walau dengan keadaan yang sangat memperihatinkan tersebut, pasangan suami istri yang merupakan ahli waris dari rumah bersejarah ini sangat manut terhadap wasiat Engkong Djiauw dan menjalani kehidupannya di rumah bersejarah tersebut dengan penuh dedikasi tinggi untuk melayani tamu dengan baik. Mereka pun mampu memberi keterangan sejarah tentang keberadaan rumah miliknya kepada setiap tamu yang datang. "Kami tidak masalah walau rumah bersejarah ini tidak terlalu diperhatikan, yang penting kami sebagai pemiliknya mempunyai kebanggan tersendiri karena rumah ini ikut menoreh sejarah perjuangan Bangsa Indonesia,” Kata Nyonya Iin dengan rasa bangga.

Di ruang tamu berukuran 6 x 8 meter terdapat dua buah meja ukir jati. Di atasnya terpampang buku-buku sejarah perjuangan. Ada buku tamu tebal dan sudah penuh diisi tandatangan puluhan ribu tamu. Di dinding tembok kayu terpampang gambar almarhum Djiaw Kie Siong berdampingan dengan gambar Bung Karno terbingkai kaca. Pascareformasi, rumah Djiaw Kie Siong cukup sering dikunjungi para tamu. Sejumlah tokoh nasional seperti Akbar Tanjung, Roy B.B. Janis, Guntur Soekarnoputra, Gempar Soekarnoputra, Harmoko, dan sejumlah tokoh dari fungsionaris PDIP juga sering datang. Rumah bersejarah milik almarhum Djiaw Kie Siong berada di sebuah perkampungan di lingkungan padat perumahan masyarakat Dusun Bojong, beberapa meter puluh meter dari rumah tersebut terdapat Lapangan Rengasdengklok yang dibangun Tugu Perjuangan pada tahun 1980-an. Pembangunan tugu tersebut menelan biaya yang besar, tetapi ironisnya pemerintah sama sekali tak melihat bahwa beberapa puluh meter dari situ terdapat sebuah rumah bersejarah yang sangat memprihatinkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun