Mohon tunggu...
Rayhan Fakhriza
Rayhan Fakhriza Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiwa

Mahasiswa biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembelajaran Berbasis Daring Bukan Solusi

6 Agustus 2020   13:36 Diperbarui: 6 Agustus 2020   13:33 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kawan-kawan semua, pada tulisan kali ini saya ingin menyinggung masalah aksesibilitas pendidikan di Indonesia. Bagi saya, aksesibilitas pendidikan atau bahasa sederhananya pendidikan yang terjangkau adalah hal yang lebih mendasar untuk diperjuangkan demi memajukan pendidikan di Indonesia. Selama ini, Pemerintah Indonesia lebih mengedepankan kualitas pendidikan atas nama kesetaraan. Tetapi seakan-akan lupa bahwa anak-anak di daerah terpencil juga perlu mendapatkan pendidikan.

Sebut saja pergantian kurikulum yang telah dilakukan berkali-kali. Kemudian beralih-alihnya regulasi pendidikan termasuk pendidikan tinggi di Indonesia. Mekanisme ujian di sekolah, penerimaan peserta didik baru dan penerimaan mahasiswa baru yang sistemnya berubah-ubah. Kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih mementingkan kualitas pendidikan sehingga terkadang permasalahan aksesibilitas atau pendidikan yang terjangkau untuk semua anak di Indonesia menjadi terkesampingkan.

Kita sama-sama mengetahui bahwa "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" adalah suatu amanat yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan bahwa setiap insan di Indonesia dijamin atas pendidikan. Pendidikan untuk semua, pendidikan yang mudah dan terjangkau oleh semua anak-anak di Indonesia. Kita kerap kali diperlihatkan perjuangan anak-anak di daerah demi menuntut ilmu. Ada yang harus menyeberang sungai, menyeberang jembatan yang rapuh dan sebagainya. Realita seperti inilah yang muncul akibat terkesampingnya masalah aksesibilitas.

Saat ini kita dihadapkan dengan masalah Pandemi. Virus Covid-19 telah mengubah persepsi banyak orang. Pada beberapa tulisan saya sebelumnya, saya mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 ini telah menyadarkan kita bahwa Worst Case Scenario atau Skenario Terburuk betul-betul harus dipertimbangkan dan dipersiapkan. Pandemi ini juga telah mengubah pola hidup manusia, tidak terkecuali pola pembelajaran maupun perkuliahan sebagai bagian dari pendidikan (oiya, saya ingin mengangkat pula kata perkuliahan sebagai pesan bahwa pendidikan tinggi juga harus dibahas).

Pola pembelajaran maupun perkuliahan kini beralih dari metode konvensional dengan tatap muka secara langsung menjadi pembelajaran atau perkuliahan jarak jauh. Beberapa metode daring maupun luring telah ditempuh untuk mengantarkan materi pelajaran maupun kuliah kepada para pelajar. Pertanyaannya adalah, apakah semua ini efektif serta efisien dalam memastikan proses pendidikan berjalan?

Sebagai mahasiswa, saya melihat metode daring maupun luring tidak bisa disama-ratakan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kata lain, harus ada penyesuaian metode pembelajaran. Hal inilah yang ingin saya usulkan sebagai sebuah solusi dalam tulisan ini. Bagaimanapun juga walau kita mengkritik pihak-pihak tertentu, setidaknya kritik yang kita berikan adalah kritik yang membangun serta membantu pihak-pihak pelaksana.

Kawan-kawan saya yang baik, izinkan saya menjelaskan penyesuaian seperti apa yang saya maksud dalam tulisan ini. Sebelumnya, mari kita analogikan pembahasan kita menjadi beberapa jenis tanaman. Sebut saja ada tiga tanaman yakni teratai, mawar dan kaktus. Ketiga tanaman ini menghasilkan bunga namun memiliki perbedaan-perbedaan yang bisa kita jabarkan.

Ketiga tanaman tersebut hidup di tempat yang berbeda. Teratai tumbuh di sebuah danau, mawar dapat tumbuh di tanah humus sementara kaktus tidak memerlukan tempat yang banyak mengandung air. Hanya dari tempatnya tumbuh saja, kita sudah bisa membedakan kebutuhan dan kapasitas masing-masing tanaman. Maka dari itu, kita juga bisa menentukan berapa air yang perlu kita berikan ke setiap tanaman. Apabila kita kurang memberi air atau berlebihan memberi air, maka tanaman tersebut bisa mati.

Sama halnya dengan pendidikan di masa pandemi. Perlakuan yang kita berikan harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas masing-masing yang dalam hal ini adalah daerah. Seperti yang kita ketahui, saat ini daerah-daerah di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan warna guna menunjukkan mana daerah yang masih rawan penularan mana yang tidak. Klasifikasi daerah menjadi zona merah dan hijau memberikan informasi kepada kita mana daerah yang relatif aman dari penyebaran virus covid-19 mana yang tidak.

Kalau dilihat secara kasar, zona-zona merah kebanyakan berada di daerah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan sebagainya. Sementara daerah di luar itu yang minim interaksi antar masyarakat relatif aman dan tergolong sebagai zona hijau. Dengan adanya pemetaan seperti ini, kita dapat melakukan penyesuaian terhadap proses pembelajaran sesuai kebutuhan, kapasitas dan kemampuan masing-masing daerah sama seperti analogi tanaman tadi.

Masyarakat di perkotaan relatif berkecukupan dan mampu untuk terhubung secara daring karena aksesibilitasnya terhadap teknologi cukup tinggi. Sementara masyarakat di daerah-daerah lainnya bisa dikatakan "masih minim" aksesibilitasnya terhadap teknologi (oiya, ini kritikan juga terhadap rendahnya aksesibilitas teknologi komunikasi di daerah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun