Mohon tunggu...
Ray Sumarya
Ray Sumarya Mohon Tunggu... Lainnya - Law Student

Founder of Rekreasi Hukum website: www.rekreasihukum.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dinamika Ideologi Dalam Kehidupan Berorganisasi

12 April 2020   21:10 Diperbarui: 17 April 2020   02:13 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: Pixabay

Ideologi Secara Umum

Istilah Ideologi pertama dipakai oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke – 18. Berasal dari Bahasa latin yang terdiri dari dua kata, yaitu ideos yang artinya pemikiran dan logis yang artinya logika atau ilmu pengetahuan. Jadi dapat diartikan Ideologo adalah sebuah pemikiran mengenai cita-cita. Ideologi sendiri terdapat di berbagai subyek atau suatu kelompok masyarakat, karena dalam berkehidupan sehari-hari masyarakat tanpa sadar dalam melakukan tindakannya dilandasai oleh sebuah ideologi. Negara pun juga memiliki ideologi bahkan di dalam negara seperti organisasi memiliki sebuah ideologi yang menjadi landasannya, hal ini dapat disebut sebagai subideologi atau bagian dari ideologi.

Ideologi erat kaitannya dengan ilmu sosial. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai pusat kajian dalam ilmu sosial, yang menerangkan tentang nilai, moralitas maupun prinsip suatu masyarakat dalam bertindak. Ideologi merasionalisasikan apa yang ada di muka bumi sebagai landasan bertindak. Namun masyarakat dalam melakukan sebuah tindakannya tentunya dipengaruhi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat, ideologi yang dominan di masyarakat ini akan dianut sebagai landasan dalam bertindak. Seorang yang mempunyai ideologi namun tidak dominan cenderung mengurungkan ideologi dalam bertindak, sehingga banyak orang yang hidup dalam masyarakat melakukan sebuah tindakan dilandaskan dengan dogma kebanyakan orang. Karena tujuan utama dari sebuah ideologi adalah menawarkan adanya perubahan dalam berfikir. Sehingga jika seorang yang tidak menganut ideologi yang ada dimasyarakat akan dikucilkan.

Mahasiswa dalam menjalani kehidupan bermasyarakatnya di kampus secara tidak sadar akan mengikuti dogma-dogma yang berlaku di lingkungannya. Sehingga segelintir mahasiswa yang mempunyai ideologi yang berbeda dengan dogma yang ada di lingkungannya cenderung mempunyai sifat yang introvert. Namun lain halnya jika mahasiswa yang mempunyai ideologi yang sama dengan dogma-dogma yang ada di lingkungannya lebih bersifat extrovert. Yang menjadi kunci seorang Mahasiswa tidak dapat mengeluarkan ideologi terhadap dogma yang ada di masyarakat adalah dengan tidak dapat dimanifestasikan dari ideologi tersebut. Jika ideologi yang dimanifestasikannya dapat dibuktikan walaupun secara abstrak sehingga menjadi dogma yang baru di kehidupan masyarakat, maka dapatlah Mahasiswa yang introvert ini akan berubah menjadi pribadi yang extrovert. Dengan timbulnya sebuah harapan bagi seorang mahasiswa yang tadinya introvert, ini akan menjadi stimulus bagi mereka untuk berani mengeluarkan pendapatnya. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus tegas dalam menyampaikan pendapatnya yang tentunya harus melihat sisi ekeftivitas, efisiensi dan akuntabiltas. Apa yang disampaikan harus tepat dengan sasaran dengan usaha yang seminim mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika terpenuhinya hal tersebut maka ideologi yang dimanifestasikan dapat diterima oleh masyarakat.

Secara istilah ideologi dalam masyarakat mungkin terlalu awam bagi masyarakat, sehingga istilah ideologi pun sering dikenal dikalangan akademis. Untuk mempermudah pemahaman ideologi dapat dikatakan sebagai “Konsep Berpikir”. Konsep berpikir merupakan kumpulan-kumpulan prinsip seseorang yang menjadi landasan berpikir yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah tindakan. Jika seseorang/beberapa orang menemukan orang lain yang sesuai dengan konsep berpikirnya maka hubungan sosial diantaranya semakin erat dan cenderung akan membentuk sebuah kelompok sosialnya sendiri walaupun tujuan dari masing-masing individu berbeda-beda, namun sebaliknya jika seseorang yang berbeda konsep berpikir dengan yang lainnya maka yang berbeda konsep berpikir dalam pendalaman hubungan sosialnya tidak akan menemukan chemistry dan cenderung akan berbeda kelompok sosialnya.

Dalam sebuah organisasi tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai itu dilakukan bersama-sama dengan anggota organisasinya. Masing-masing anggota organisasi tentunya memiliki konsep berpikir yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan organisasi, dalam hal ini chemistry diantara anggota sulit ditemukan maka untuk menyatukan chemistry dalam organisasi ini biasa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan politik dominan dalam organisasi. Jika chemistry sudah didapat dalam kehidupan berkelompok terutama organisasi, maka kemungkinan untuk timbul perselisihan menjadi berkurang. Sehingga agar organisasi berjalan dengan kondusif, para anggota organisasi haruslah mempunyai keselarasan dalam berideologi terlepas dari adanya nilai kebenaran, karena  jika dalam suatu organisasi para anggota memiliki konsep berpikir yang berbeda-beda tentunya akan menghambat jalannya organisasi dikarenakan perbedaan konsep berpikir akan menghasilkan tindakan yang berbeda-beda dalam menjalankan suatu organisasi.

Ideologi Sebagai Pembenar

Seperti yang disebutkan dalam chapter sebelumnya bahwa manusia cenderung introvert dan ekstrovert karena berbagai batasan yang membatasinya yaitu ideologi serta kausalitasnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia sebagai insan tentunya memiliki paradigma yang berbeda-beda, karena jika paradigma setiap manusia itu sama maka mungkin tidak ada polisi, tidak ada pengadilan, tidak ada musyawarah, sebab tidak adanya masalah antar individu karena paradigma yang selaras tersebut. Bahkan jika semua paradigma sama setiap individu kita mungkin di dunia hidup bagaikan robot, karena sudah tersistem selaras dengan individu lain sebab paradigma yang sama akan membawa keselarasan.

Manusia dalam bertindak selalu dilandasi oleh sebuah alasan baik tersirat maupun tersurat. Alasan-alasan tersebut terhimpun kemudia menjadi sebuah ideologi bagi individu, namun walaupun manusia tinggal di tempat yang sama yaitu bumi, bahkan satu wilayah, satu daerah bahkan di dalam satu kelompok yang samapun masih terjadi konflik. Hal ini didasari oleh interprestasi yang berbeda-beda bagi setiap individu. Setiap tindakan memberikan “rasa” yang berbeda bagi individu. Misalnya saja ada yang berpikir “berbagi itu indah”, sedang ada yang berpikir “buat apa berbagi? Sedangkan yang dibagipun tidak memberikan keuntungan bagi yang membagi”. Adanya perbedaan rasa atau afektif masing-masing individu inilah menjadi awal mulanya konflik. Sadar atau tidak manusia selalu mencari kebenaran terhadap tindakan yang dilakukannya bahkan pikirannya pun menuntut demikian. Keadaan afektif yang berbeda-beda tiap individu perlu diketahui agar dapat menghadapi dinamika dalam kehidupan.

Secara teori ada 3 teori kebenaran secara umum:

  1. Teori Koherensi

Dalam teori ini suatu pernyataan kebeneraan dianggap benar apabila pernyataannya koherensi atau sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Misalnya ada orang yang mengatakan bahwa minum air kelapa itu tidak menyehatkan karena dapat membuat sakit perut. Pernyataan tersebut kemudia disampaikan turun-temurun sehingga orang-orang pun akan menganggap benar bahwa air kelapa kelapa tidak menyehatkan untuk dikonsumsi. Baik sadar maupun tidak teori ini sering digunakan oleh orang-orang yang baru memulai proses belajar yaitu pelajar, bahkan orang yang bukan dikalangan akademispun juga sering menggunakannya. Sering kita jumpai guru, dosen atau pengajar dalam sebutan apapun dalam memberikan ceramahnya berpendapat mengenai apa yang diajarkannya. Padahal belum tentu apa yang disampaikan tersebut benar.

Dalam sebuah organisasi pun dalam mencapai tujuannya akan ada yang namanya regenerasi atau ada yang bilang kaderisasi. Tentunya orang-orang baru dalam organisasi akan dipandu oleh senior-seniornya yang terlebih dahulu sudah masuk dalam sebuah organisasi yang kemudian mengajarkan bagaimana caranya berorganisasi. Senior-senior yang sudah tidak berada dalam organisasi akan menyerahkan kekuasaannya kepada orang-orang baru yang sudah diajarkan ini. Orang-orang baru yang memegang kekuasaan akan menjalankan organisasi dan dalam mengambil sebuah keputusan tentunya menggunakan ilmu yang sudah didapatkannya selama hidup, termasuk yang sudah diajarkan oleh senior-seniornya terdahulu. Namun sering kali tapi tidak semua, orang-orang baru yang menjalankan organisasi dalam mengambil sebuah keputusan cenderung mengikuti keputusan-keputusan yang terdahulu, cara-cara yang terdahulu, sehingga hal ini membuat orang-orang khususnya mahasiswa yang berorganisasi menjadi tidak kritis, karena selalu bergantungan dengan pendapat-pendapat seniornya. Sekalipun seniornya tersebut tidak memaksakan kehendak agar sebuah keputusan harus mengikuti yang terdahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun