Mohon tunggu...
La Ode Muh Rauda AU Manarfa
La Ode Muh Rauda AU Manarfa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali. Selama perjalanan mengumpulkan pecahan-pecahan pengalaman yang mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Pendekar Tongkat Emas; Mesin Waktu Membawa Kembali ke Masa Silam

28 Desember 2014   06:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:20 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 20 Desember 2014, tepat 7 hari yang lalu saya menyempatkan diri pergi ke Gedung Setiabudi. Kehadiran saya di sana bukannya tanpa sengaja, tetapi karena diundang oleh Kompasiana untuk menjadi salah satu dari sekian ratus ribu Kompasianer, menjadi saksi dari dimulainya kembali era film kolosal tradisional khas nusantara melalui sajian film bercorak beladiri yang diberi judul “Pendekar Tongkat Emas”.

Diluncurkan di akhir tahun 2014 yang merupakan masa libur sekolah, libur natal, dan juga tahun baru menjadi salah satu pilihan hiburan keluarga yang anggotanya telah beranjak dewasa. Film ini menggambarkan salah satu sisi kehidupan manusia yang tidak bisa ditebak, hari ini patuh tetapi bisa jadi esok lusa berbalik menikam dari belakang.

Film ini diracik dengan apik oleh Ifa Isfansyah sebagai koki (sutradara), berbekal naskah dari Jujur Prananto. Ilustrasi musik dipunggawai oleh Erwin Gutawa dan alunan suara disumbangkan oleh Anggun, sedangkan produser ditempati oleh duo Mira Lesmana dan Riri Riza. Miles Production dipilih sebagai rumah produksi film ini. Film yang konon menghabiskan anggaran sebesar Rp. 25 Milyar ini tercatat secara masif telah melakukan publikasi secara luas di berbagai media. Rasanya film ini berhasil memenuhi aspirasi sebagian masyarakat pecinta film, yang membawa keluar dari jawasentris sebagai isu utama dalam semua pembuatan film kolosal di Indonesia, serta sukses membuatnya tidak kalah menarik dibandingkan film-film bernuansa kontemporer yang tengah merebak.

Mesin Waktu

Saya mengatakannya sebagai mesin waktu membawa kembali ke masa silam karena selain menyuguhkan hiburan yang mengajak para penonton dalam menikmati jalannya cerita juga bentuk nostalgia akan bacaan juga tontonan kolosal yang pernah berjaya puluhan tahun silam di jagad entertainment Indonesia.

Masih terngiang dengan jelas bagaimana keperkasaan tokoh-tokoh idola yang dapat disaksikan dalam film Si Buta dari Goa Hantu, Wiro Sableng, Tutur Tinular, Titsan Darah Biru, Babad Tanah Leluhur, Saur Sepuh Satria Madangkara, Jaka Sembung, Jaka Tingkir, Angling Dharma, Sembara, dan lainnya. Membangkitkan rasa percaya diri sebagai seseorang yang berasal dari “Timur”, kawasan yang kaya akan tradisi etnik kuno yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya di luar sana.

Walaupun fiksi tetapi latar dan seting kisah yang dihadirkan tidak jauh dari kehidupan yang sebenarnya ada di masa silam, menghadirkan kenangan masa lalu yang tidak bisa diberikan oleh film-film masa kini yang postmodernisme. Duel tongkat dan tangan kosong dieksploitasi secara menarik sehingga menumbuhkan rasa dan asa untuk ingin kembali belajar seni bela diri yang beraroma alam masa lalu.

Panorama yang digambarkan dalam film ini adalah hijau, kuning, biru, merah, hitam, dan cahaya putih yang natural sebagai simbol kesahajaan yang hampir hilang. Sekilas tarian, nyanyian, kuda, serta kain khas bercorak Sumba Timur menjadi penghias yang semakin menambah kekentalan etnocimena sebagai paradigma yang tidak akan habis untuk dinikmati oleh para pecinta film lawas.

Sketsa Aktor

Banyak yang menyangka jika Nicolas Saputra sebagai Elang dalam film ini akan tetap terjebak dalam keromantisan monoton layaknya Rangga dalam “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)”, tetapi dugaan itu meleset karena ternyata Nicolas Saputra berhasil menjadi sosok yang lebih jantan lagi dengan tetap tidak menghilangkan ciri cool yang telah lama dibangunnya. Dalam film ini Elang merupakan seorang keturunan dari pemimpin perguruan tongkat emas, yang menguasai jurus Tongkat Melingkar Bumi.

Begitu pula dengan Eva Celia yang berperan sebagai Dara, ia merupakan pewaris sekaligus pelanjut tongkat estafet kepemimpinan di dalam padepokan silat. Tongkat Emas diberikan kepadanya sebagai simbol puncak kekuasaan dan kekuatan di perguruan ini. Dalam adegan demi adegan Eva terlihat telah menjelma menjadi gadis, dan sukses keluar dari gambaran gadis cilik yang selama ini melekat pada dirinya, jika membandingkannya dengan peran yang sudah-sudah dijalaninya saat mengikuti film pendek, Andriana, atau bintang iklan.

Reza Rahadian kebagian peran sebagai Biru, peran antagonis nan sentral yang selalu berkonflik dengan tokoh sentral lainnya seperti Elang, Cempaka, Angin, dan juga Dara. Reza yang dalam film sebelumnya seperti “Habibi dan Ainun” juga “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” terlihat penuh emosi, kali ini juga tetap menampakan emosi khas dirinya. Ambisi dan muslihat dibawakannya dengan karakter yang kuat dalam setiap scene terlihat menghidupkan aroma konflik yang menggigit.

Berperan sebagai Gerhana yang selalu setia mendampingi Biru, Tara Basro dipercayakan menempati posisi ini. Sosok yang pernah bermain dalam film “Catatan Harian Si Boy” dan “Make Money” ini dalam awal kisah terlihat sebagai murid yang kuat juga menaruh perhatian lebih kepada Biru. Belangnya baru diketahui ketika ia bersama Biru menunjukan aksinya dalam mencelakai gurunya, Dara, juga Angin.

Sebagai murid perguruan termuda dengan nama Angin, Ariah Kusumah memiliki kecepatan gerakan secepat namanya. Ia merupakan pendatang baru, menyaksikannya di layar ini mengingatkan kita akan petualangan dua sosok pendekar cilik dalam film China “Shaolin Popey”. Di film ini ia berperan sebagai tangan kiri sang guru pemilik tongkat emas, juga adik yang setia mendampingi kakak seperguruan yang mendapat amanah menjaga tongkat emas. Kegigihan, ketabahan, kesabaran, dan kekuatan yang luar biasa ditampakannya ketika mendapat serangan bertubi-tubi demi mempertahankan keyakinannya dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang dianggapnya lebih berharga dari dirinya. Film ini adalah film kolosal pertama yang diperankannya, keseriusan menjalani perannya layak mendapat apresiasi.

Christine Hakim yang didaulat sebagai Cempaka membawakan laku yang sederhana tetapi anggun juga sarat aura kewibawaan pemimpin perguruan tongkat emas. Gerakannya terlihat lamban, tetapi efek yang ditimbulkan akibat jurus-jurusnya tidak bisa dianggap main-main. Murid-muridnya seperti Biru, Angin, Dara, dan Gerhana dilatihnya untuk selalu awas terhadap siapapun termasuk kepada dirinya sendiri. Tetapi nasihat darinya harusnya lebih berguna kepada dirinya karena ternyata pelan tetapi pasti ia telah diracuni oleh kedua murid terkuatnya. Artis senior yang telah membintangi segudang film Indonesia ini pun dalam perannya harus berakhir tragis karena mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dua muridnya dari upaya pembunuhan Biru dan Gerhana.

Beberapa pendukung lainnya seperti Darius Sinatra yang berperan sebagai Naga Putih saat masih muda, Prisia Nasution yang menjalankan lakon sebagai Cempaka saat muda, Slamet Rahardjo sebagai anggota Dewan Datuk Bumi Persilatan, Whani Dharmawan sebagai Pimpinan Perguruan Sayap Merah, serta Landung Simatupang sebagai Guru sekaligus yang telah menurunkan ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi kepada Cempaka muda dan Naga Putih muda.

“Waktunya Telah Tiba”

Dara, Biru, Gerhana, dan Angin adalah empat murid dari perguran silat Tongkat Emas. Keempat murid tersebut tidak berlatih karena proses seleksi penerimaan murid sebagaimana yang lazimnya berlaku, tetapi karena rasa penyesalan sang guru karena orang tua mereka telah dibunuh olehnya, akibat kerasnya kehidupan di dalam dunia persilatan yang harus dijalani oleh orang berilmu seperti dirinya.

Ringkas kisah, Cempaka sebagai pimpinan perguruan silat Tongkat Emas merasa telah tiba saat yang dinanti-nanti, yakni menyerahkan Tongkat Emas simbol kekuasaan sekaligus pemilik yang nanti akan meneruskan jalannya perguruan silat Tongkat Emas kepada muridnya yang terpilih. Nampaknya Cempaka tidak melihat siapa murid yang paling cekatan di antara keempat asuhannya, tetapi yang hatinya seirama dengannya. Dara sebagai murid yang terlemah dipilihnya untuk menerima tugas baru tersebut, dan sembari membisikan kata “...mengheningkan cipta...”, dua Biru dan Gerhana yang kecewa segera beranjak dan bersiap melakukan aksi kudeta kepemimpinan perguruan.

Ketika dalam perjalanan menuju ke tempat latihan jurus terakhir, Cempaka sang guru, Dara, dan Angin tiba-tiba saja diserang dari belakang oleh Biru dan Gerhana. Penyergapan ini bertujuan untuk merebut tongkat emas yang telah melegenda karena kekuatannya, tetapi dengan pengorbanan yang tidak sia-sia akhirnya Cempaka merelakan dirinya menjadi tumbal dan berhasil membuat Dara serta Angin meloloskan diri.

Perjalanan Dara dan Angin tidak semata-mata untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman pembunuhan oleh Biru dan Gerhana, tetapi juga untuk mencari pendekar Naga Putih guna mempelajari ilmu pamungkas perguruan silat Tongkat Emas, yakni Ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi. Untung tak dapat diraih serta malang tak dapat ditolak, dalam upaya pencarian, Angin tewas dibunuh oleh Biru dan Dara mendapat kabar bahwa pendekar Naga Putih telah lama tiada. Sejenak Dara terhempas karena putus asa, sekelebat pula ia berbalik semangat ketika mengetahui Elang yang sejak semula hadir sebagai penyelamatnya dari usaha pembunuhan adalah buah hati dari pendekar Naga Putih dan Cempaka, yang juga menguasai dan dapat mengajarkannya ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi kepadanya.

Dara dan Elang lalu berlatih dengan melewati serangkaian perpaduan jiwa dan raga yang khas dalam ritual bela diri ala Tongkat Emas. Setelah difusi ilmu selesai keduanya berangkat menemui Biru dan Gerhana yang untuk meminta pertanggungjawabannya atas pengkhianatannya kepada dirinya, gurunya, dan juga kepada dunia persilatan.

Pertarungan seru mengisi duel antara Dara dan Gerhana juga antara Elang dengan Biru. Masing-masing mengeluarkan kemampuan yang telah bertahun-tahun dipelajarinya. Satu guru, satu perguruan, dan satu ilmu membuat duel terlihat sengit, karena sama-sama dapat saling membaca serangan, tangkisan, dan perdiksi reaksi yang akan diperlihatkan oleh masing-masing lawan. Gerhana menjadi korban yang jatuh pertama dalam pertarungan ini, dan membuat Biru menjadi semakin marah hingga mencabut sebatang pohon yang digunakannya sebagai tongkat untuk menyerang Biru dan Elang. Dengan menggunakan jurus pamungkas Tongkat Emas Melingkar Bumi akhirnya Biru dapat dikalahkan dengan satu serangan saja, biru terjatuh dan kisahnya berhenti di ujung tongkat emas.

Anak Biru dan Gerhana tinggalah seorang yatim piatu, diasuhlah ia sebagai satu-satunya murid dalam perguruan silat Tongkat Emas. Elang yang telah terikat oleh janji terpaksa meninggalkan Dara seorang diri yang saat itu menjadi sebagai guru di perguruan yang baru saja dijalankannya. Samar-sama Dara melihat kemampuan si murid tunggal meningkat, si murid senantiasa berlatih tanpa mengenal lelah dan waktu. Hingga disadarinya bahwa si murid merupakan cahaya yang dapat meneruskan perguruan silat itu suatu saat nanti, juga disadarinya akan hal yang sama yang pernah dilakukannya kepada orang tua si murid dapat menimpa dirinya suatu saat nanti. Tanpa daya untuk menolak ia tetap membiarkan cahaya ancaman itu tetap ada bersamanya.

Selanjutnya apa yang terjadi? Andalah tentunya yang lebih layak menemukan sendiri jawabannya dengan menyaksikan secara langsung filmnya di masa liburan ini.

Sayang Kalau Dibuang

1419697281188152430
1419697281188152430

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun