Mohon tunggu...
Ratna Winarti
Ratna Winarti Mohon Tunggu... Penulis - Students who don't want to disappear from civilization

Just writing rather than silence!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

19 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 19 Januari 2021   18:15 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bab IV (Kebijakan Terhadap Penduduk Tionghoa di Surabaya)

Pembahasan pada bab keempat ini membicarakan mengenai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur etnis Tionghoa di Surabaya yang ada mulai dari masa kolonial Belanda, masa Jepang, sampai pada masa kemerdekaan Indonesia.Di masa Jepang, terjadi dualisme sikap warga Tionghoa antara golongan peranakan yang berpendapat lebih mudah melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa dan golongan Tionghoa totok yang solider pada penderitaan saudaranya di Tiongkok tatkala dikuasai Jepang pada 1931.

Berbagai kebijakan yang sifatnya diskriminatif yang berlaku untuk etnis Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri jauh kebelakanh dengan kebijakan yang sudah dibuat pada berabad-abad yang lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi).

 Dalam kebijakan tersebut etnis Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama dengan etnis Arab, India, Melayu dan sebagainya. Mereka harus menggunakan sebuah identitas yang berbeda dengan golongan etnis yang lain. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18. Hal itu dimaksudkan untuk menjadikan alasan keamanan agar pemerintahan kolonial Belanda mudah mengawasi dan mengaturnya.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda orang-orang etnis Tionghoa dilarang untuk menghilangkan identitas yang sudah melekat pada diri mereka. Selanjutnya ada kebijakan wijkenstelsel yaitu pemusatan pemukiman orang Tionghoa dan etnis asing lainnya pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indi No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. 

Namun, sebenarnya jika dilihat secara jauh kebijakan tersebuat dibuat untuk keamanan, dalam arti supaya etnis Tionghoa dapat dikendalikan dan diawasi dengan ketat. Jika mereka melanggar kebijakan dengan tinggal diluar wilayah yang sudah ditentukan maka mereka akan dikenakan sanksi dengan dipenjara atau di denda 25-100 gulden. Di Surabaya sendiri pemukiman orang-orang Tionghoa berada di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun,Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.

Selain itu berlaku juga sebuah kebijakan yang bernama passenstelsel atau dikenal dengan praktik pass jalan tahun 1816 yang mana dalam peraturan tersebut orang Tionghoa harus membawa kartu pass jalan ketika melakukan perjalanan kelaur kota. Jika mereka ketahuan tidak membawa kartu pass jalan tersebut akan dikenakan hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Oleh sebab itu kebijakan tersebut sangat merepotkan dan memberakan mereka para etnis Tionghoa yang beraktivitas sebagai pedagang, hal itu juga diperparah dengan pembuat pass jalan yang cukup lama dan dipersulit dengan berbagai alasan. Peraturan lain adalah adanya kebijakan Undang-undang Agraria yang berlaku di tahun 1870 yang merugikan etnis Tionghoa di Surabaya.

Pada bab ini juga dijelaskan mengenai penghapusan kebijakan wijkenstelsel dan pass jalan yang akhirnya berdampak pada kebebasan orang-orang Tionghoa dalam menjalankan aktivitasnya sebagai pedagang dan juga pergeraknnya dalam bidang politik. Penghapusan kebijakan itu juga memberikan dampak pada pembentukan partai politik Tionghoa Indonesia Surabaya, sehingga orang-orang Tionghoa akhirnya mengalami perpecahan golongan dalam segi orientasi politik dan Pendidikan. 

Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.

Dari segala kebijakan yang telah ditentukan oleh pihak kolonial Belanda akhirnya memunculkan semangat dan keinginan untuk menggalangkan persatuan pada semua golongan etnis Tionghoa yang ada di perantauan. Akhirnya pada awal abad ke-19 orang- orang Tionghoa mulai membuat perkumpulan yang dinamakan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan), selanjutnya ada Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa), yang dibentuk pada tahun 1907, dan ada Chung Hua Hui.

 Di Surabaya sendiri THHK dan Siang Hwee memiliki perkembangan yang sangat pesat dan merupakan cabang dari Batavia. Dalam pemikiran etnis Tionghoa dengan didirikannya perkumpulan tersebut untuk mengecarkan bahwa Eropa dan Belanda adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan kembali menumbuhkan nasionalisme Tiongkok. Dalam perjalananya pemerintahan Kolonial Belanda merasa bahwa perkumpulan ynag didirikan oleh etnis Tionghoa tersebut bersifat mengancam dan harus segera diterapkan sebuah kebijakan untuk membatasi pergerakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun