"Ibuuuu....buuuu...ibu di mana ?" panggilku parau menahan tangis.
Aku yakin pasti ibu yang menaruh bungkusan nasi ini. Aku sudah hafal, itulah makanan yang selalu ibu bawa untuk kami.
Tak ada nampak sosok ibu di lorong gelap depan rumah kami.
Dengan lesu aku masuk ke dalam rumah.
Kubagi nasi itu, separuhnya kuberikan pada kakakku yg segera makan dengan lahap.
Setelah cukup kenyang aku dan kak Uci ngobrol pelan hingga kantuk menyerang.
Sinar matahari menerobos masuk melalui lobang di dinding rumahku.
Aku mengerjap pelan.
Sudah pagi rupanya.
"Liiiin...Liliiin", suara teriakan pak dhe Marto membuatku melompat bangun.
Segera aku keluar rumah.
"Ada apa pak Dhe ?", tanyaku.
"Ayo ikut pak Dhe sebentar", ajaknya.
Aku mengangguk, dan mengikutinya dengan patuh.
Pak Dhe Marto orang baik, dia sering memberi makanan pada keluarga kami.
Pak Dhe Marto berjalan bergegas. Sampai di ujung desa, kulihat kerumunan banyak orang.
Perasaanku tidak enak.
Pak Dhe berbalik dan menggendongku menerobos kerumunan itu.
Tampak orang-orang memberi jalan pada pak Dhe Marto sambil menatapku iba.
Aku tertegun melihat pemandangan di depan mataku.
Tampak ibu terbaring di tanah berbantalkan batu bata di pinggir jalan.
Ibuku sudah meninggal, begitulah yang kudengar dari pak Dhe Marto.
"Inna lillahi wa inna illlaihi roji'uun", aku mendengar gumaman orang-orang di sekelilingku.
"Ibuuuu....", lirihku.
Air mata meleleh di pipiku.
"Sabar ya Lin, ikhlaskan kepergian ibumu.
Mungkin ibumu meninggal karena lapar", ujar pak Dhe Marto.
Memang tampak di samping jasad ibuku bekas nasi sisa di dalam dus putih.