Mohon tunggu...
Ratna Noviana
Ratna Noviana Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2019

Seseorang yang suka menyalurkan pemikiran dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mental Buruh, Hasil dari Pendidikan Indonesia ?

15 April 2020   22:35 Diperbarui: 15 April 2020   22:43 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia merupakan negara dengan kualitas pendidikan yang tergolong rendah didunia. Hasil tes internasional seperti PISA 2015, menempatkan kualitas siswa Indonesia pada peringkat ke-62 dari 70 negara. Hal ini dengan jelas menunjukan bahwa ada sesuatu yang salah selama ini dalam sistem pendidikan kita. 

Beberapa hal yang sangat berpengaruh terhadap output siswa antara lain adalah sikap negatif  guru, sistem pembelajaran tradisional, kurangnya fasilitas pendidikan, sistem pendidikan yang cenderung diktator dan pembelajaran yang tidak tuntas. Akibatnya akan berdampak pada output siswa yang mempunyai mental kurang bagus bahkan cenderung bermental buruh. Saya akan sedikit membahas mengenai hal ini, dimulai kebiasaan dan sistem hingga output yang dihasilkan.

Kebiasaan yang pertama adalah sikap guru yang kurang baik. Banyak sikap guru yang dapat merusak mental siswa antara lain sikap reaktif, suka mencela siswa, tidak adil, subjektif, emosional, tidak disiplin, sering mengabaikan siswa, meninggalkan kelas, sombong, merasa paling pintar, otoriter, tidak teliti, tidak konsisten, negatif thinking, dan sebagainya. 

Guru yang mempunyai salah satu dari sikap negatif ini dapat membuat siswa tertekan dan merusak sikap serta mental siswa. Karena ketika kita telah memilih menjadi seorang guru maka kita dituntut untuk menjadi manusia sesempurna mungkin demi menyukseskan pendidikan generasi penerus bangsa.

Kedua, beberapa sekolah di Indonesia masih menggunakan buku paket sebagai acuan pembelajaran, padahal banyak sekali media dan cara yang dapat digunakan. Masih banyak juga sekolah yang menggunakan metode belajar klasikal ceramah, metode ini cenderung membosankan sehingga siswa tidak akan menyerap materi dengan baik. Penerapan sistem pertanyaan terbuka juga belum sepenuhnya berjalan, hal ini dapat didasari oleh rendahnya rasa kepercayaan diri siswa ataupun guru yang belum memberikan ruang untuk bertanya.

Selanjutnya adalah fasilitas, fasilitas turut menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Pada saat motivasi siswa untuk belajar sudah tinggi namun tidak didukung oleh fasilitas maka akan sia-sia. Saat ini di Indonesia, ketersediaan fasilitas pendidikan belum merata. Banyak sekolah daerah terpencil yang belum memiliki fasilitas yang memadai bagi para siswanya. Hal ini dapat menghambat pembelajaran yang berlangsung di sekolah tersebut. Berbeda dengan sekolah di kota besar yang sebagian besar fasilitas penunjangnya seperti sudah terpenuhi.

Keempat, sifat pendidikan Indonesia yang cenderung diktator, mungkin terdengar sedikit aneh ketika kita mendengar pendidikan Indonesia bersifat diktator, namun saya ingin menunjukan beberapa bukti bahwa hal ini memang benar. Pada saat kita berada di sekolah dasar pasti tidak asing dengan mendikte, menggambar, dan mengarang. Bagaiman tiga hal itu dapat disebut diktator? Kita mulai dari mendikte, pada saat mendikte kita diajarkan untuk menuliskan apa yang didiktekan kepada kita. 

Semakin tepat dan cepat apa yang kita tulis sesuai diktean, semakin tinggi kita dimata guru. Lalu menggambar, kita selalu diajarkan mkenggambar sesuai realitas, daun harus hijau, bunga harus merah, air harus biru, sawah harus hijau dan sebagainya. 

Guru tidak memberikan kebebasan sesuai kreatifitas kita dalam memberi warna dalam gambar yang secara tidak langsung guru membatasi imajinasi siwanya. Begitu pula dengan mengarang, kegiatan yang seharusnya membebaskan siwa berfikir kreatif sesuai imajinasinya justru harus diberikan aturan aturan baik tema maupun gaya bahasanya.

Terakhir adalah pembelajaran yang kurang tuntas. Ketuntasan belajar menginginkan sekolah dan guru melakukan banyak kegiatan yang memerlukan dukungan penguasaan berbagai keahlian, seperti menilai kemampuan murid berdasarkan bukti dan membantu memperbaiki hasil belajar murid. 

Tanpa keahlian tersebut, beberapa langkah persyaratan pembelajaran tuntas kerap kali terbengkalai. Misalnya, Hasil ujian tidak dianalisis, sementara hasil pembelajaran tidak tuntas dibiarkan tanpa ulangan perbaikan. Padahal, ketidaktuntasan belajar dalam menguasai suatu materi akan menyulitkan murid menguasai materi berikutnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun