Mohon tunggu...
Ratna Endang Widyasari
Ratna Endang Widyasari Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 di STTRI Jakarta

latar belakang saya adalah seorang guru SMA, saya suka musik dan memasak, topik favorit saya adalah konten tentang pendidikan, psikologi, teologi dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gaya Hidup dan Kehendak Bebas Manusia

2 Desember 2022   21:16 Diperbarui: 2 Desember 2022   21:28 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah anda pernah mendengar istilah Yolo ? atau menemukan hashtag Yolo dalam berbagai postingan di media sosial seperti Twitter, Instagram atau Tiktok ?  istilah ini memang tidak asing lagi di kalangan generasi millenial, Yolo adalah akronim dari "You Only Live Once" alias hidup itu cuma sekali, semacam seruan untuk nikmatilah hidup saat ini tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan, istilah Yolo ini cenderung dikonotasikan secara negatif dan sebagai sebuah gaya hidup yang menginginkan kebebasan, mumpung masih muda! kapan lagi kalau bukan sekarang? hidup cuma satu kali harus dinikmati!

Pernyataan-pernyataan ini seakan hendak memberikan legitimasi pada anak muda untuk memanfaatkan hidup yang hanya sekali untuk melakukan hal-hal baru yang menantang, dan menikmatinya secara maksimal dan sebebas mungkin. 

Sebuah hasil penelitian menunjukan bahwa ada kecenderungan pelaku gaya hidup Yolo menjadi terjebak dalam gaya hidup konsumtif, menyukai hal-hal yang instan dengan berupaya mendapatkan apa yang diinginkan secepat mungkin dengan cara yang mudah, dan cenderung mengabaikan skala prioritas kebutuhan serta minim perencanaan untuk masa depan.

Dampak dari gaya hidup ini sangat mempengaruhi pengelolaan keuangan dari pelakunya oleh karena perilaku hidup yang boros menjadikan individu tersebut tidak terpikir untuk mempunyai tabungan untuk kebutuhan di masa yang akan datang, bahkan jika hal ini dijalankan dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan terlilit banyak hutang.

Gaya hidup Yolo biasanya berdampingan dengan Fomo yang merupakan singkatan dari  "Fear Of Missing Out" yang pengertian sederhananya adalah "takut ketinggalan" yang berhubungan dengan tren yang tengah berlangsung di komunitas atau peer group, hal ini mengacu pada perasaan gugup atau cemas yang dirasakan seseorang ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak menghadiri acara sosial baik karena mereka tidak diundang atau tidak dapat hadir, pengertian Fomo juga  dapat juga dikaitan dengan takut merasa tertinggal dalam tren media sosial. 

Istilah Fomo adalah gambaran perasaan kaum muda yang takut dicap kurang eksis dan tidak  gaul. Dengan munculnya media sosial, Fomo menjadi isu yang bertambah besar, terutama bagi kalangan muda yang cenderung selalu online, mengecek update status dan postingan teman-temannya. 

Ketika kaum muda melewatkan pesta, tidak pergi liburan keluarga pada musim liburan, atau tidak menghadiri pesta prom night, mereka akan merasa kurang keren dan tertinggal dibandingkan teman-teman mereka yang hadir dan membagi momen tersebut dalam unggahan foto di medsos, mereka menganggap jika orang lain bersenang-senang, mereka juga harus seperti itu, dan akhirnya menjadi sangat mudah bagi kaum muda untuk mendefinisikan kehidupan mereka berdasarkan apa yang mereka lihat secara online. 

Dalam sebuah jurnal psikologi menunjukan bahwa rasa takut ketinggalan inilah yang membuat platform media sosial begitu sukses saat ini, karena Fomo berhubungan erat dengan perasaan ingin selalu mengejar eksistensi dan mendapatkan pengakuan dan hal ini dapat diperoleh melalui kolom komentar, tanda love atau jempol yang ada pada fitur medsos. 

Mengapa fenomena Yolo dan Fomo bisa saling mempengaruhi bahkan saling tarik menarik ?  Hal ini disebabkan karena Yolo bergerak dari mindset atau pola pikir yang ingin memiliki kebebasan untuk mengejar kenikmatan hidup yang hanya sekali ini dan berfokus pada hidup jangka pendek dan tidak mempertimbangkan jangka panjangnya, sedangkan Fomo bergerak dari perasaan cemas dan takut ketinggalan dan hanyut dalam perasaan tersebut sehingga terpicu untuk selalu mengejar standar apa yang dilakukan orang di media sosial atau tren masyarakat secara umum, yang sebenarnya belum tentu sesuai kebutuhan dan kemampuan individu tersebut. 

Sehingga latar belakang ini menjadikan gaya hidup Yolo dan Fomo menjadi sejalan, antara pola pikir dan perasaan yang bergerak menuju pada titik yang sama yaitu fokus pada diri sendiri, kenikmatan hidup dan kehendak bebas.

Setelah kita mengenali fenomena ini, Lalu bagaimana dengan kita, apakah kita juga termasuk individu yang berjuang dengan hal semacam ini dalam kehidupan sehari-hari? Apakah dalam keputusan-keputusan kita juga dipengaruhi oleh spirit  Yolo dan Fomo ? apakah kita sudah cukup bijak dalam mengelola keuangan, sudahkah kita menempatkan prioritas secara tepat ? atau saat ini justru terjebak dalam kecenderungan  mengejar kenikmatan dan pengakuan dari orang lain?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun