Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jogja Diserbu, Pertanian Sleman Terancam?

7 Januari 2014   09:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 4149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak perlu menunggu waktu cukup lama, hanya dalam hitungan bulan pembangunan ruko di Sleman selesai dibangun. Kecamatan Depok merupakan salah satu kecamatan di Sleman yang memiliki perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan selama lima (5) tahun terakhir. Jika mengitari jalan di Babarsari, terlihat ruko baru dan rumah makan baru berjejeran di sepanjang jalan.

Sleman Sembada, begitulah bunyi slogan kabupaten Sleman. Namun hingga lima (5) tahun yang akan datang apakah Sleman masih mampu swasembada pangan? Pesatnya pembangunan di Sleman sangat erat kaitannya dengan ekspansi pembangunan di Yogyakarta. Kecamatan yang secara administrasi dan geografis wilayah berbatasan langsung dengan Yogyakarta akan “kecipratan” pembangunan kota Yogyakarta.

Kecamatan yang memiliki potensi strategis mengalami pembangunan pesat tergabung dalam aglomerasi perkotaan kabupaten Sleman. Aglomerasi perkotaan Kabupaten Sleman terdiri atas Kecamatan Depok, Mlati, Gamping, Godean, dan Ngaglik). Dari kelima kecamatan ini, Depok mengalami perubahan lahan yang sangat cepat khususnya perubahan fungsi lahan persawahan menjadi lahan terbangun.

[caption id="attachment_314306" align="aligncenter" width="495" caption="Peta Perubahan Lahan di Kecamatan Depok (1997-2002)"][/caption] [caption id="attachment_314308" align="aligncenter" width="600" caption="Peta Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Aglomerasi Perkotaan Kab.Sleman (2006-2010)"]

1389062631848132206
1389062631848132206
[/caption] [caption id="attachment_314312" align="aligncenter" width="469" caption="persentase perubahan fungsi lahan di Kecamatan Depok"]
1389062963755772174
1389062963755772174
[/caption]

Sekitar tiga (3) bulan yang lalu saya pernah survey di daerah Mlati, dusun Jaten. Saya mendatangi dusun ini karena di wilayah ini akan dibangun perumahan Real Estate di atas lahan persawahan yang cukup luas. Informasi dari hasil wawancara saya cukup mengejutkan, menurut Muryanto (Kep. Dukuh Jaten) bahwa hampir seluruh lahan pertanian di pedukuhannya merupakan milik orang lain, bukan milik penduduk setempat. Sebagian besar warga dukuh Jaten yang memiliki lahan pertanian sendiri hanya memiliki lahan pertanian < 1 ha.

[caption id="attachment_314309" align="aligncenter" width="350" caption="Halaman depan Real Estate di daerah dukuh Jaten"]

1389062750547417311
1389062750547417311
[/caption] [caption id="attachment_314311" align="aligncenter" width="350" caption="bangunan yang berdiri di atas lahan pertanian"]
13890628791589841753
13890628791589841753
[/caption]

Informasi penting lainnya yang saya peroleh adalah sejak dahulu beberapa lahan pertanian di Sleman dimiliki oleh satu orang, yang dikenal memiliki banyak sawah di Sleman. Saya mencoba menanyakan hal ini ke dukuh setempat, dikatakan “karena tuntutan ekonomi, sedikit demi sedikit lahan pertanian di daerahnya dijual dan hal ini sudah berlangsung selama puluhan tahun”.

Sejak Yogyakarta mulai ramai dikunjungi oleh pendatang seperti mahasiswa, maka pembangunan kos-kosan mulai dibangun di atas lahan pertanian. Seperti yang terlihat di daerah Pogung, kita akan melihat bangunan kos-kosan dan perumahan berdiri di atas lahan pertanian.

Pemerintah Sleman sendiri mengatakan bahwa pemerintah Sleman tetap mempertahankan lahan pertanian pangan yang ada seluas 21.000 ha. Sehingga konversi lahan pertanian yang ada selama ini bukan bagian dari lahan pertanian yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mempertahankan ketahanan pangan.

Berdasarkan keterangan Bapak Arif Setiyo Laksito (Bappeda Kab. Sleman) bahwa lemahnya pengawasan dan penerapan perda untuk mempertahankan lahan pertanian di Sleman salah satunya disebabkan karena tumpang tindih perundang-undangan. Berikut kesimpulan wawancara saya dengan pak Arif:

1.UU Agraria tumpang tindih dengan UU Tata Ruang. Dalam UU Tata Ruang tanah dijelaskan bahwa tanah bukan barang investasi, bahwa tanah memiliki kaidah sosial. Ibaratnya pemerintah mengatur kepentingan publik di atas lahan privat. Ini yang menjadi kendala begitu sulitnya menerapkan rencana tata ruang wilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun